BAB 8

663 57 12
                                    

"Lo lihat daftar tamu nanti malam nggak?" Nina bertanya.

Salwa menggeleng sambil menyeruput minumannya.

"Orang penting semua, gila!"

Dira yang baru kembali dari toilet mendengus melihat kehebohan Nina. "Lo yang gila."

Nina melirik Dira jutek. "Ya lo pikir aja. Kenapa tamunya malah di dominasi sama yang punya posisi tinggi gitu. Rumah Sakit Han 'kan milik swasta. Sepengaruh itu Seno?"

Dira mengangkat bahu. "Mikirin banget lo. Pikirin tuh mau pake apa nanti malam."

"Iya! Gue mau beli dress, lupa!"

"Bukannya kamu banyak dress?" Salwa menaikan alisnya.

Nina cemberut. "Dress gue kuno semua. Ayo antar gue ke mall. Sekalian beli dress lo berdua."

"Yang beginian lo ngajakin Fara. Mana mau dia."

Dira benar. Selain tidak begitu menyukai dress, Salwa rasa pakaian yang ia punya pun sudah cukup pantas dan sopan untuk menghadiri perayaan ulang tahun berdirinya Rumah Sakit Han.

"Cus, Ra!" Nina bangkit dari duduknya.

"Fa?" Dira ikut bangkit.

Salwa menggeleng. "Duluan deh. Nanti aku nyusul."

"Mau nunggu berapa lama di mall pun gue tau lo nggak bakal datang," sahut Nina.

Salwa terkekeh. "Sana, nanti keburu habis."

"Ngeledek nih bocah!" Dira berkacak pinggang.

Pada akhirnya mereka pergi meninggalkan Salwa di kafe. Sebuah note kecil gadis itu keluarkan. Ada yang harus ia catat sebelum nantinya terlupakan. Semua kejadian dan mimpi yang berkaitan satu sama lain tertuang di dalam note itu. Salwa masih berusaha mengumpulkan kepingan puzzle yang hilang.

Benda persegi panjang yang bergetar di atas meja mengalihkan perhatiannya. Nama Seno tertera di sana. Membuat bibirnya melengkung ke atas tanpa sadar.

"Senyum lo manis."

Salwa mengernyit mendengar ucapan Seno barusan.

"Lo nunggu telepon dari gue?" Seno terkekeh di sebrang sana.

Salwa baru hendak mengatakan sesuatu namun Seno menyela, "pipi lo merah."

Kerutan di keningnya bertambah. Ketika kepalanya mendongak, sosok pria dengan sebelah tangan memegang ponsel di telinga berdiri tak jauh darinya. Seno berjalan mendekat.

"Dan makin merah," bisik Seno. Tangannya terulur menaikkan dagu Salwa.

Gadis itu memundurkan wajahnya sambil mengalihkan perhatian. Mendengar tawa Seno, panas di pipinya menjalar sampai telinga.

"K-kenapa di sini?" Salwa bertanya gugup.

Seno menarik kursi di depan Salwa. "Kangen."

"Hah?"

"Kangen sama minuman di sini."

"O-oh."

Lagi-lagi Seno tertawa. Pemuda itu bertopang dagu di depannya. "Manis."

Salwa jengkel. Mata Seno seakan meledeknya. Pria itu sedang menjahilinya.

"Aku duluan." Ia bangkit.

"Lo gemesin kalo lagi marah." Seno menahan tangannya.

"Aku nggak marah," ketus Salwa.

Seno ikut bangkit. Tubuhnya ia sejajarkan dengan tinggi Salwa. "Nanti malam gue jemput."

I'm Done 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang