[14] Hari Yang Sial

146 37 9
                                    

Aku bisa apa? Saat takdir memang tak merestui kita yang teramat nadir

⭐🌟⭐


Syelha sedang mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Setelah selesai, bukannya segera bergegas, ia malah duduk kembali di sisi ranjang. Mata dan jarinya kini terfokus pada benda pipih persegi yang sudah banyak menampilkan notifikasi chat di aplikasi WhatsApp.

Ia meng-scroll banyak chat yang membudal, tidak jelas siapa pengirimnya. Jarinya terhenti ketika melihat pesan dari Bu Ranti yang tertera di barisan paling bawah, tertimbun oleh chat lain. Pesan itu dikirim kemarin, jam 9 malam.

Bu Ranti
Assalamualaikum
Besok sesudah jam istirahat pertama temui Ibu ya.

Syelha
Waalaikumsalam
Maaf baru dibalas
Iya, Bu.

Bu Ranti
Tolong kasih tau Kenan juga ya
Soalnya pesan Ibu belum diliat sama dia dari semalem

Syelha menghembuskan nafasnya kasar, kenapa apesnya tidak hilang-hilang, sih?

Syelha
Baik, Bu.

Sejujurnya ia malas sekali jika harus bertemu cowok itu. Sangat malas, bikin badmood saja. Masih teringat jelas kejadian kemarin, Syelha benar-benar malu. Deru nafasnya sering naik-turun bila membayangkan tingkah bodohnya itu. Pasti, nanti di sekolah, Kenan bakal mengejeknya habis-habisan.

Ia berharap, semoga Kenan tidak menceritakan kejadian itu pada teman-temannya, jika sampai diceritakan. Bisa hancur harga dirinya, bisa-bisa ia dicap sebagai cewek murahan.

Syelha jadi bingung atas semua kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. Pasalnya ia jadi gampang nangis dan suka berlebihan saat merespon sesuatu.

Contohnya saja, ketika Syelha mendapat surat peneroran di gudang sekolah tempo lalu. Tiba-tiba ia menangis hanya karena sebuah lembar poto dan koran. Padahal ia belum tahu kebenarannya, bisa saja itu hanya leluconan seseorang yang kurang kerjaan untuk mengelabuinya.

Syelha tahu bahwa ia adalah salah satu pasien PTSD (post traumatic stress disorder). Sejak ia pindah ke tempat tinggalnya sekarang, Syelha jadi tidak pernah lagi menemui dokter spesialis psikoterapinya, dulu saat ia belum pindah ke Yogjakarta. Traumanya tidak pernah kambuh, walau pun sesekali mimpi itu pernah datang di ingatannya. Tapi tidak separah sekarang. Rasanya sekarang ini, akalnya sering melakukan hal yang tabu. Di luar kendali.

Jika Ibu tahu bahwa traumatik Syelha kambuh, bisa-bisa ia khawatir. Sebab, Ibu sering menangis bila melihat anaknya kesakitan. Dan segala aktivitasnya pun pasti akan serba di batasi oleh Ibu. Syelha tidak mau itu terjadi, dan juga tidak mau melihat ibunya sedih. Syelha mau hidup normal.

Suara gedoran pintu milik Ibu sudah menghancurkan lamunan Syelha. Ia melirik jam di dinding. Sial, rupanya ia sudah banyak melamun dari tadi.

Syelha pun segera bergegas merapihkan kasurnya. Kemudian keluar menemui Ibu yang terus-menerus mengetuk pintu, tidak sebaran.

"Iya, Bu. Bentar," Syelha keluar dari kamar, dengan ransel yang sudah di ke sampingkan ke bahu. Seragamnya pun sudah rapih, tinggal pakai sepatu.

"Syel, cepet turun. Ada temen kamu tuh."

Syelha terperangah, teman? Teman yang mana?

Circle of Destiny [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang