Intro: 0.1 - α Side

458 57 12
                                    

Ruangan seluas 6 x 9 meter berdinding kaca yang terletak di ujung belakang lantai 12 gedung rumah sakit nasional itu sejatinya adalah ruangan khusus yang hanya diizinkan tuk digunakan jika ada suatu hal yang menjadi urgensi. Tepat seperti saat ini, dengan beberapa petugas keamanan berjaga di pintu masuk, bersenjatakan lengkap.

Seorang pemuda berpostur tinggi dengan surai ikal kecoklatan yang acak-acakan bersandar ke dinding kaca. Lapisan epidermis di dahinya berkilau karena keringat yang menumpuk lewat pori-pori kecilnya, meski AC ruangan telah disetel hanya beberapa derajat dari titik terendah. Sepasang iris gelap menyorot ruang hampa, nyaris menenggelamkan kesadaran jika saja sebuah telapak tangan yang lebar tidak menepuk keras bahunya detik itu juga.

"Oi, jangan melamun."

"Oh." Yang dipanggil tersentak kecil, mengumpulkan konsentrasinya untuk kembali. Sato Keigo, pemuda dengan punggung menjulang, bersurai hitam bergelombang yang barusan menyelamatkannya dari lamunan yang dalam, terkekeh sebentar sebelum memilih duduk di atas sofa panjang tak jauh dari titik di mana pemuda bersurai cokelat yang belakangan diketahui bernama Shion itu sedang berdiri menyandar, sepasang lengan tertekuk di depan dada.

Dua lelaki muda alpha berstatus senior dan junior itu tidak berbicara selama beberapa saat.

"Kau baik-baik saja?" tanya yang lebih tua.

"Ya."

Respon kilat nan datar yang sedikit mengejutkan, mengingat Shion adalah tipikal adik kelas yang selalu heboh dan tak pernah absen mengeluarkan lebih dari satu kata dalam satu tarikan nafas ketika bicara. Terlebih lipatan horizontal pada dahinya tidak membantu menguatkan alibi yang mengatakan bahwa ia sedang baik-baik saja. Jelas sekali ada suatu masalah yang membebani batin serta pikiran.

"Mengejutkan, ya?"

Keigo melempar sepatah kalimat lain seraya merebahkan diri dengan posisi telentang, sementara sorot mata menggerayangi langit-langit. Ia sedang berusaha lebih mencairkan suasana yang sedari tadi suram.

"Yah... aku hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa nanti," jawab Shion pada akhirnya, tak tahan menanggung kekhawatiran.

"Kau membenci Syoya?"

Satu tembakan langsung menuju inti, yang memaksa Shion untuk segera bereaksi.  "Benci? Tentu saja tidak!"

Sebaris alis tebal Keigo menukik naik.

"Dia pasti punya alasan untuk menyembunyikan status aslinya selama ini. Hubungan kami akan baik-baik saja. Aku, Syoya..." Shion menelan ludah susah payah. "...dan Sukai."

Benarkah?

Keigo tersenyum kecil. Ia bangkit hanya untuk menepuk-nepuk permukaan kepala kecoklatan milik juniornya yang mengembang dan makin berantakan itu. Bola matanya berputar, mencari-cari sosok dua lelaki lain yang seharusnya ada bersama mereka, Sukai dan Ren.

Tidak sulit menemukan dua orang pemilik surai cokelat kelam dan perak mencolok, sepasang mata yang memanjang dan runcing layaknya rubah-sebuah ciri khas-terlebih karena seluruh ruangan di lantai ini hanya dibatasi dengan kaca yang tentu saja transparan, kecuali untuk toilet tentunya.

Ren dan Sukai tengah berada di sudut yang agak jauh, sekitar sepuluh meter dari ruang tempatnya dan Shion berada. Mungkin mendiskusikan hal yang privat. Bukan rahasia jika Sukai begitu terikat dengan Ren, dan bagaimana mereka berdua selalu bersama melebihi akrabnya sepasang kakak beradik jika berada di sekolah. Di luar itu, mereka selalu dipaksa menjadi musuh oleh keadaan. Setidaknya memiliki Ren di sisinya bisa menjadi obat penenang paling manjur untuk Sukai. Keigo tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya jika ia berada di posisi anak itu.

The Pheromone Outbreak (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang