Ep. 5 - Kabur

441 35 66
                                    

Mug berisi susu panas dalam genggaman tangan Shosei bergetar kecil akibat tubuh yang tak henti menggigil kedinginan di dalam selimut. Sisa-sisa badai di luar sana terkubur bersama remang senja. Sorot dari sepasang mata sayu yang lembab kemerahan melekat pada uap panas tipis yang menguar dari mulut mug. Setetes air mata meleleh jatuh, bercampur dengan larutan putih susu. Shosei meletakkan mug di atas meja kopi dan mengelap air mata yang tak diundang dengan punggung tangan, membebaskan diri dari gulungan selimut tuk memakai alas kaki, berjalan tertatih ke pintu. Satu tangan memutar kenop.

"SHOSEI!" Pelukan kencang dari Syoya menyambutnya. Tubuhnya terhuyung dua langkah ke belakang karena kaget, keseimbangan goyah bentuk reaksi atas aksi yang begitu tiba-tiba. Tak ada persiapan. Dua telapak tangan sahabatnya bertengger di pipi. Shosei menangkap gurat kecemasan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. "Badanmu menggigil!"

Omega yang lebih pendek namun bertenaga itu menarik sahabatnya kembali ke tempat tidur, mendorong tubuh yang lebih tinggi dan besar sedikit darinya ke tengah, lantas membungkusnya dengan selimut tebal dari telapak kaki sampai ke ujung kepala. Dari apa yang Sho ceritakan padanya dan Sukai lewat telepon, serta melihat betapa menyedihkan keadaan Shosei dengan kedua bola matanya sendiri, Syoya bisa menyimpulkan bahwa sahabatnya jelas berada di bawah siraman hujan dalam waktu yang lama pada kondisi tidak berdaya.

Sukai ikut masuk ke dalam kamar tak berapa lama kemudian, menutup pintu dengan rapat sebelum berinisiatif untuk menyalakan lampu dan menutup tirai jendela. Sebenarnya baik Syoya maupun Sukai sempat penasaran dan khawatir dengan arah tujuan Shosei saat anak itu membuka pintu tadi, hanya saja tidak ada yang ingin membahas hal itu sekarang.

"Aku benar-benar khawatir padamu," ujar Syoya dengan nada lembut, membenarkan posisi selimut agar menutupi semua anggota tubuh Shosei yang sedang duduk bersila, kecuali bagian wajahnya. Tidak ada senyum di sana. Poni keemasan yang memanjang menutupi nyaris seluruh wajah kecuali garis bibir yang rapat terkunci.

Kedatangan Syoya dan Sukai membuat rasa sedih dan kesepian yang sedari tadi ditahan mati-matian lolos tak terbendung. Shosei beringsut menyembunyikan wajahnya di dalam selimut, menyisakan isak teredam serta punggung yang gemetar. Syoya berusaha membisikkan sepatah dua patah kata penenang di telinga Shosei sambil mengusap-usap punggungnya.

Sukai yang baru pernah menghadapi situasi semacam ini merasa sedikit tidak berguna. Ia tidak punya banyak pengalaman dengan omega yang bisa cukup membantu. Dirinya memutuskan untuk mengirim pesan ke Junki dan Keigo. Mereka berdua seharusnya sudah dihubungi juga oleh Sho dan diperkirakan akan pulang sebentar lagi. Sempat ia berpikir untuk memberitahu Ren dan Takumi, tetapi kemudian ia teringat jika keduanya sedang berada dalam rapat penting yang tidak boleh diinterupsi sama sekali.

Setidaknya, kerja keras Syoya sedikit demi sedikit membuahkan hasil. Intensitas tangis Shosei mulai berkurang dalam hitungan menit dan pemuda itu sudah nampak bisa mengontrol emosi sedikit demi sedikit. Bertepatan dengan itu, terdengar dering nyaring dari bel pintu yang ditekan sebanyak dua kali. Sukai mengintip lubang pintu secepat mungkin, memastikan orang yang datang sebelum membuka pintunya setengah.

"Sukai, bagaimana keadaan Shosei?!" tanya Junki yang tidak kalah cemas, keringat bercucuran di pelipis dan lehernya berkilat, peluh merembes ke lingkaran sekitar kerah baju. Keigo di sampingnya, pun tak kalah basah kuyup, selain akibat bekas gerimis yang masih tersisa di luar sana juga karena keduanya berlari dari parkiran dengan begitu terburu-buru.

"Syoya sedang menenangkannya," jawab Sukai sekenanya, menyingkir dari tengah jalan supaya dua seniornya itu bisa masuk ke dalam dan memeriksa sendiri.

"Junki-kun," panggil Syoya. Junki, tanpa diminta, meletakkan tas selempangnya di kursi untuk kemudian melepas kemeja luarannya serta celana jeans panjang yang sedikit basah serta bau garam, menyisakan kaus polos berwarna putih dan celana pendek hitam sebatas lutut. Diacak surai kelamnya sebentar, memastikan tidak ada lagi pasir pantai yang terbawa.

The Pheromone Outbreak (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang