4. Darah

193 118 39
                                    

Jadikan kehilangan itu sebagai pelajaran, jangan jadikan halangan untuk kamu menuju kebahagiaan. You should know, you deserve to be happy.

"Makasih ya lo berdua udah anter gue pulang padahal ini jam istirahat." ucap Radhifa tak enak pada Mauren dan Zarifah.

"Kayak sama siapa aja lu Fa." celetuk Zarifah dan diangguki Mauren.

"Lo berdua jadi ga makan sekarang karena nganter gue." jelas Radhifa lagi membuat Mauren memutar bola mata malas.

"Ck, ini udah pesan om Ronald ke bu Wulan. Yakali bu Wulan mau ngelanggar." ujar Mauren lalu dibalas kekehan kecil dari Zarifah.

"Dan untuk makan ntar kita mampir ke kafe biasa buat makan sama ngasoy." ujar Zarifah berbinar begitu pun dengan Mauren.

"Sama ae lu berdua ga pernah berubah." sambar Radhifa lalu geleng-geleng kepala.

"Kayak lu aja yang engga onyom! Sekalian ini bu Wulan lagi baek juga kan mau ngasih kita pergi berdua." jelas Zarifah.

"Yaudah gue masuk, lo berdua abis makan langsung balik ke sekolah jan kelayapan kek cabe!" tutur Radhifa yang di ditatap datar oleh Mauren dan Zarifah.

"Ehehe bye!!" ujar Radhifa melambaikan tangan ke arah Mauren dan Zarifah setelah keluar dari mobil yang dikendarai Mauren. Dan tanpa pikir panjang Mauren melajukan mobilnya untuk pergi mengisi lambungnya yang sudah meronta-ronta.

"Lah kok tumben mang Tosa ga di pos?" bingung Radhifa ketika melihat pos satpam kosong tak ada orang dan rumah pun terlihat sangat sepi dari luar. Lalu Radhifa mengedikkan bahu acuh dan membuang pikiran negatifnya jauh-jauh dan mulai melangkahkan kaki nya masuk.

Cklek

Baru saja tangannya menyentuh handle dan membukanya matanya langsung disambut oleh darah yang berceceran di lantai rumahnya.

"ASTAGA!!" pekik Radhifa terkejut.

"Hikss.. PA! BANGUN PA!! hikss." tangisan dan sesenggukan mulai menyeruak ke gendang telinga Radhifa dan matanya menyorot jelas Fifi-mamanya tengah menangis dan merangkul kepala Ronald-sang ayah.

Radhifa tak dapat berkedip dan tak bergeming sedikit pun. Pelayan rumah dan satpam rumah pun sudah berkerubung di dekat sang ayah terbaring lemah.

"Papa." lirih Radhifa yang masih belum paham sembari tetap melangkahkan kedua kakinya pelan ke arah Fifi. Dia berjongkok dan menyaksikan darah mengalir dari mulut sang ayah.

"Papa kenapa ma?" tanya Radhifa pada Fifi. Namun tak ada jawaban apapun dari Fifi yang membuat Radhifa jengah.

"MA!! JAWAB MA!!" pekik Radhifa histeris. Setetes air matanya jatuh dari pelupuk matanya. Radhifa bukanlah gadis cengeng yang sedikit ada ujian langsung roboh, namun dia tetap menahan gejolak dadanya yang tak tega melihat pemandangan menyedihkan ini.

"PAPA KENAPA?!! KENAPA PADA DIAM?!! JAWAB!!!" teriak Radhifa kini lebih keras. Salah seorang pelayan yang sudah paruh baya ikut berlutut disamping Radhifa lalu mengusap bahunya pelan.

"Tuan Ronald tak sadarkan diri." lirih perempuan parih baya itu.

"SHIT! DHIFA GA BUTUH JAWABAN ITU! CEPET ANGKAT PAPA KE MOBIL DAN BAWA KE RUMAH SAKIT!" titah Radhifa lalu menenangkan sang ibunda.

Sesampainya di Rumah Sakit, dokter dengan sigapnya memeriksa kondisi Ronald. Fifi masih menangis di dekapan sang putri.

"Keluarga bapak Ronald?" tanya seorang dokter setelah keluar dari ruangan tempat Ronald di periksa.

RAYALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang