Bab I

61 5 0
                                    

Pembukaan

  “Jika embun adalah hasil-hasil karya yang diciptakan malam dan sengaja ditinggalkan khusus untuk dilihat sang mentari, maka aroma basah dari tanah adalah isyarat untuk mengucapkan selamat pagi.”

Tuhan, maafkan aku.
Mungkin aku telah lupa pada perjanjian kita.
Aku terlalu larut bermain di hamparan dunia.

Tuhan, aku telah menaruh surat pada tiap-tiap pucuk Cemara.
Karena aku tak sanggup menggapai-Mu
Barangkali engkau mau membacanya
Surat cinta yang ku gantungkan dari kerendahan alam fana.

Ayah, ibu. Maafkan aku pergi
Kalian adalah puisi yang merawat abadi
Bahkan dalam sunyi kalian erat di hati

Aku pergi dan akan kembali
Setelah menemukan jawaban atas kegelisahan hati
Kepada kalian, aku ingin menggapai mimpi
Mendapati ketenangan yang abadi
Dalam sebuah negeri yang permai dan damai dinikmati.

****
   Matanya riak-riak menatap bintang kecil yang berlinang di langit, tepat diatas kepala. Cahaya itu singgah di hatinya.
Orang-orang memandang ia gila, mematahkan semangatnya untuk menjadi orang besar pada masa kecil yang selalu ia utarakan ke hadapan semua orang. Tatapan matanya tajam serupa belati, yang membuatnya dijauhi teman-temannya selepas kepergian dirinya yang mengulas masa lalu ketika langit tak lagi dihiasi senyuman gempita ayah dan ibu. Mimpi sesungguhnya masih ada pada dirinya, tepat di kantung celana jeans sebelah panjang itu. Ayahnya selalu mengatakan, “Suatu saat kakimu yang akan mengantarkanmu pergi ke negeri-negeri jauh.” Kedua kakaknya, Nilam dan linam selalu mengiyakannya.
“Ibu, pasti kau sedang menatapku kan disana? Walaupun mungkin juga engkau sedang lelap di kasur yang pernah membuat kita terpejam bersama, bu. Ayah pasti sedang bermain handphone yang di beli dulu untuk pekerjaannya itu. Aku cinta kehidupan kalian. Bintang itu berlukiskan bibir kalian yang tersenyum, dan kulihat awan hitam yang menebar di sekitar lukisan bibir di langit ini, tentu saja itu pasti kerutan di wajah kalian dari sisa-sisa perjuangan masa muda yang tetap legam.”
*

Seutas nama di kain meronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang