Fermi Paradox

7 2 0
                                    

“Tuan”, Tiwi menyapa dari samping Mono hingga membuat ia tergugah dan kaget, setelah pikirannya runyam oleh perasaan takut akan kekacauan yang menghantuinya.

“Iya, nona. Ada apa?” sambil menoleh ke arah Tiwi, Mono memasang mimik yang tidak menampilkan kebingungan.

“Menurut tuan, apakah ada kehidupan lain selain yang ada di bumi kita saat ini?”

Sambil menggaruk kepala, mono menjawab, “Entahlah, yang ku tahu pasti selalu ada kehidupan entah di belahan bumi lainnya. Itupun tetap masih berada dalam lingkup bumi. Tapi mungkin saja ada, alam semesta kita ini seperti tak terhingga, ada sekitar seratus milyar bintang seperti matahari di galaksi kita, bahkan ada dua ratus milyar galaksi di alam semesta atau bahkan ada milyaran planet yang bisa dihidupi seperti bumi.”

“iya, betul tuan. Tapi kenapa ya jika alam semesta kita ini penuh dengan kehidupan, sejauh ini kita belum menemukan kehidupan lain? Atau setidaknya kita sudah bertemu salah satu dari mereka sekarang ? Dimana mereka sekarang? Apa memang tidak ada kehidupan ?”

Mono menghela nafas, dan coba untuk mengungkapkan pendapatnya. “Ini merupakan fermi paradox. Nona, sejak empat puluh tahunan lalu kita sudah mengirim sinyal radio ke ruang angkasa dengan harapan sinyal itu dijawab oleh sesuatu diluar sana, tapi nyatanya belum ada siapapun atau apapun sebagai jawabannya. Mungkin itulah nona, kita sejauh ini belum menemukan kehidupan lain selain bumi kita saat ini.”

“Baiklah tuan, tapi apakah mungkin alasan kita belum menemukan jawabannya kehidupan lain karena alam semesta kita terlalu luas?”

“Mungkin. Kita juga tak dapat berkomunikasi karena jarak yang sangat dan terlalu jauh  itu.” Mono menjawab sambil memandang langit biru dan awan yang mendayu berjalan berotasi.

Menurut mono, sekalipun manusia berhasil membuat kapal ruang angkasa yang bergerak secepat cahaya, dari bumi ke Alpha Centauri, kapal itu membutuhkan waktu dari bumi ke bintang terdekat selama empat ribu tahun. Huhft waktu yang lama, tentu saja proses itu akan diteruskan oleh anak cucu hingga beranak cucu lagi. Itupun kalau masih terus selalu di lanjutkan, atau jika belum kiamat. Tapi kalaupun itu berhasil, tentu Indra mereka juga mungkin berbeda dengan Indra yang manusia punya, dan itu juga yang menjadi pertanyaan “apakah mereka bisa membaca sinyal yang manusia kirim?” Mono kembali menghela nafas panjang.

“Hihihi, sudah tuan tak usah dipikirkan terlalu serius.” Tiwi menatap mono sambil mengejeknya dengan tertawa.

Ah, tentu saja bagi mono itu menjadi sebuah kegelisahannya sendiri walaupun ia tetap membalas senyum Tiwi dengan senyuman kembali.
Tapi ada kemungkinan di dalam hati Mono, mungkin mereka tau akan sinyal yang manusia kirimkan, tapi mereka lebih memilih untuk mengabaikannya. Jangan-jangan mereka tau permasalahan manusia di bumi, dan mereka takut apabila manusia mendapat jawaban kehidupan di luar bumi, di planetnya itu justru akan mengancam mereka. Mengancam kedamaian mereka. Mungkin saja ada kekaisaran galaxi disana yang sengaja mengabaikan manusia, karena kita merupakan spesies yang berbahaya. Bisa jadi, manusia pada dasarnya memiliki insting untuk menghancurkan dirinya sendiri sehingga kita punah di planet ini sebelum dapat menjelajahi luar angkasa.

Kehidupan di alam semesta sendiri sangatlah langka, mungkin dibutuhkan kondisi yang sangat khusus hingga kehidupan dapat bermula di suatu tempat. Mungkin juga karena kehidupan kita di bumi adalah yang pertama, atau buruknya kita hanya mencari sesuatu yang tak pernah ada. Terdengar mengerikan tapi mungkin ini adalah jawaban dari fermi paradox. Bukti yang menyadarkan kita bahwa masih banyak yang tidak kita ketahui, karena kita terlalu berfokus pada dunia ini.

  Betapa celakanya sebuah bangsa yang tidak berani menyampaikan kata-kata penduduknya sendiri, kecuali bila saja bangsa itu telah bergandeng mesra dengan liang yang akan memendamnya. Kemungkinan yang banyak sekali terpendam di pikiran Mono. Pikirannya melayang-layang menembus rindangnya pepohonan dan hatinya berbisik, “Alangkah tenteram dan damainya kehidupan pohon-pohon dan binatang-binatang di hutan ini. Mereka pasti sudah lama sekali hidup di hutan seperti di negeriku, seperti di bumi ini, dan masih akan terus hidup di sini berlaksa-laksa tahun lagi.
Lain dengan manusia! Di zaman sekarang, negeriku kacau balau. Kacau dengan picingan-picingan mata, padahal katanya makhluk paling bijaksana. Banyak konflik, entah untuk kepentingan politik atau kepentingan ekonomi mereka berlomba-lomba mendapatkan semua keinginan. Sampai-sampai lupa akan budaya negeri sendiri. Budaya yang elok, anggun, ramah-tamah senyum-sapa. Saat ini rasanya budaya dan cinta pada keluhuran asli warisan nenek moyang semakin tersingkir dan sulit ditemui. Sederhananya saja, semakin sibuk manusia, semakin acuhnya ia. Belum lagi, jika semakin berambisi saling senggol demi tujuan-tujuan yang terburu untuk dicapai, hingga bagiku, kehidupan negeriku cukup mengerikan. Ada manusia yang tak mau hidup damai berdampingan. Ada manusia yang ingin melenyapkan manusia lain.”

   Sementara disisi lain, dirinya seolah menjelma menjadi seorang yang berusaha menenangkan fikiran mono dengan mengucap kata-kata bijak. Bagai begawan Wyasa sang mahaguru yang memberikan petuah suci kepada Bhimasena. Tubuhnya pun berkata: “Tak ada orang bijak yang kuat untuk selalu berbuat kebajikan seumur hidupnya. Tak ada orang durhaka selamanya hidup berkubang dosa. Hidup ini ibarat jaring laba-laba. Di dunia ini, tak ada orang yang sama sekali tak pernah berbuat kebajikan, tak ada pula yang sama sekali tak pernah berbuat kejahatan. Setiap orang harus memikul akibat perbuatannya sendiri. Janganlah engkau memberi jalan untuk kedukaan.”

Bagi Mono, hidup dan kehidupan. Masalah dan permasalahan, adalah serupa sebuah arus air, dan manusia adalah ikan. Belajarlah hidup layaknya ikan, ia terus saja hidup berenang melawan arus, dan hanya akan berhenti jika sudah mati. Dengan kata lain, hidup adalah perjuangan, sedangkan di dalam perjuangan kita harus merasakan hidup. Tapi ambisi yang terus menerus mengejar hal lebih, padahal ia sudah mendapatkan kelebihan hingga berbuat curang, itu bukanlah sebuah perjuangan, melainkan keserakahan.

Seutas nama di kain meronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang