Perenungan diri

12 4 0
                                    

Di pondok pesantren yang serba asing dibanding kehidupan yang biasanya itulah ia mulai mengenal agama, dan mendalaminya. Di imbangi dengan wawasan umum di sekolahnya.
Begitu sibuk hari-harinya tanpa ada istilah istirahat bermain handphone. Karena memang dilarang membawa dan menggunakan alat komunikasi modern jarak jauh itu.
Tapi sayangnya, mono lebih menyukai dan mengikuti rasa penasarannya tentang agama, ia merasa lebih menikmati kehidupannya sebagai santri dibanding dengan menjadi siswa. Padahal ia juga mengetahui bahwa konotasi keduanya memang sama, sebagai peserta didik yang wajib belajar. Oleh sebab itu, ia sering dihukum oleh wali kelasnya di sekolah akibat jarang masuk. Di jam sekolah justru ia malah ering keluyuran keluar ke toko buku, atau hanya tidur saja di dalam pondok secara diam-diam. Bila pengurus pondok tau, ia akan dikenakan sangsi.

Berbagai pelajaran tentang agamanya banyak ia terima, namun bukan dalam sebuah buku yang bertuliskan menggunakan tulisan bahasa Indonesia, melainkan tulisan Arab yang tanpa ada tanda bacanya, atau mungkin itu yang biasa disebut dengan tulisan "Arab gundul". Dan mungkin buku itulah yang disebut "kitab kuning", yang selalu di diktekan oleh gurunya, dan diterjemahkan menggunakan bahasa Jawa. Awalnya ia tidak mengerti bagaimana cara membaca Arab gundul tersebut, apalagi menulisnya. Setiap kali matanya berkelok melihat teman-temannya mencatat ucapan pak kyai yang menjelaskan makna terkandung dalam setiap potongan ayat, ia menirukan teman-temannya tapi menggunakan bahasa Indonesia, atau bahasa latin alfabet biasa. Pikirnya, ah sama saja, yang penting aku mencatatnya agar mudah ku baca kembali.

Tapi sambil menyelam minum air, akhirnya ia pun mengerti, bahwa penulisan huruf vokal "A" tidak ditulis menggunakan tanda fathah, melainkan menggunakan huruf Alif, kalau "I" tidak menggunakan kasrah, melainkan menggunakan huruf "Ya", dan "U" tidak menggunakan dhommah, melainkan menggunakan huruf "Wau", dan selanjutnya tulisan Arab tersebut disambung seperti biasanya. Lambat laun ia terus mencoba mencoba menulis seperti itu, sampai ia pun bisa membaca dan menulis menggunakan "Arab gundul" bahkan dalam tulisan arab yang berbahasa Jawa juga, sampai-sampai ia juga mahir berbahasa Jawa, dari bahasa kasar sampai bahasa halus sekalipun. Padahal di pondok ia tidak pernah menggunakannya, tapi di kampungnya selalu ia gunakan. Teman-teman pondoknya selalu menghormati dan menghargainya, setiap bercakap-cakap mereka selalu menggunakan bahasa nasional.
*

Suatu ketika, di siang hari mono pergi ke toko buku langganannya. Toko buku itu seperti perpustakaan, lengkap juga dengan seluruh peralatan maupun perlengkapan bagi para santri. Meski tak memiliki uang, mono tetap rajin kesana, untuk numpang membaca.

Di bale bambu panjang yang mengarah ke jalan raya, mono masih sibuk membaca buku tentang ma'rifat. Kala itu buku yang di dapatnya secara cuma-cuma dari seorang penjaga toko buku tersebut, karena penjaga itu setiap hari melihatnya tiada absen berkunjung. "ini, buat kamu." Uluran tangan dari sang penjaga toko sambil berdiri, berada di sampingnya saat dirinya sedang mencari-cari buku dengan tulisan menggunakan bahasa Indonesia.

"Wah apa ini mas?" Kemudian Mono melihat tulisan di sampul buku itu, "Ma'rifat? Buku apa ini?" refleks mono yang heran sambil memegangi buku yang judulnya saja belum pernah ia tau.

"Ya dibaca, dong" lanjut penjaga itu.

"iya, mas." Mono pun menerima dan langsung kembali sambil membawa buku itu ke pondok.

Kebetulan hari itu adalah hari Jum'at, tepat ketika aktivitas para santri libur. Selepas sholat Jum'at, ia menghabiskan waktunya untuk mulai membaca buku itu, hanya terjeda ketika waktunya mengaji, setelah itu dilanjut kembali sampai larut malam dan membuat kepalanya pusing.
Tapi selayaknya orang yang keras kepala, ia terus membaca, sampai ia benar-benar membutuhkan istirahat, karena tanpa disadari sudah pukul tiga pagi. Setidaknya, mono bisa istirahat sebelum waktunya sholat subuh dimulai, kepalanya yang terasa berat dan pusing itu membuat tidurnya sangat lelap melewati waktu sholat subuh, tubuhnya tidak bergerak sedikitpun, ajakan dan paksaan pengurus dalam membangunkannya juga tidak mempan. Akhirnya dengan sendirinya ia terbangun kembali pukul 12 siang. Tepat sebelum waktunya sholat dzuhur.

Seutas nama di kain meronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang