Surat untuk kalian

6 4 0
                                    

   Pagi hari yang sejuk, ketika mono membuka mata kembali ke dunia yang teduh, ia merasakan tiada gelisah. Tanpa kekhawatiran akan hal apapun, yang ia pikirkan adalah bagaimana agar hari ini lebih baik dari hari kemarin. Tapi seketika di dalam kepalanya terbesit pertanyaan bagaimana kabar ayah, dan ibunya?
Seluruh doa yang tak pernah berhenti terucap dalam hatinya kini bergejolak dan memaksa naik ke bibirnya untuk segera di keluarkan dengan suara. Hingga menancap di kepalanya dan kembali meminta untuk segera menuliskan pesan yang mungkin akan sampai kepada orang tuanya tanpa ia harus bertemu pulang ke rumah.
Tentu saja, hal itu karena jarak dari tempatnya ke rumah yang jauh, dan membutuhkan waktu yang entah.

Kali ini aku berada di sebuah negeri yang permai dan damai. Ayah, ibu, apa kalian sudah pernah kesini? Ku yakin sudah. Baiklah, akan ku ceritakan bagaimana situasi ketika aku berada disini, menemukan makna ketenangan, dari apa yang selalu kalian pesankan. Mungkin aku tidak handal menulis puisi, atau mengungkapkan perasaan dengan berbagai kata-kata yang indah, namun aku tak pernah berhenti menulis untuk mencoba menuangkan setiap rasa.”


Selamat pagi, semesta dan seluruh isinya.

Tidak ada yang tidak mungkin terjadi, bahkan ketika mencoba menggapai mimpi dari seorang anak yang terlahir bersama mimpi.
Aku berada dalam lingkup nyonya Pertiwi.
Ramah senyum sapa, dan bersahaja. Bahkan yang lebih baik, seluruh penduduk disini.
Hingga anak nyonya Pertiwi yang bernama Pratiwi, dan biasa ku sapa nona Tiwi.
Elok matanya, penuh damai menatapnya.
Waktu-waktu yang kami lewati sangat dapat dinikmati. Entah dalam Senda gurau atau dalam berdiskusi membicarakan masa depan, dan pesan-pesan yang tersirat dalam memahami tiga elemen abadi.
Ayah, ibu. Di negeri ini tidak pernah ada pertengkaran.
Semua orang berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.
Damai disini bukanlah sebuah mimpi, tapi menjadi tugas bagi setiap masyarakatnya untuk tetap menjaga.
Tidak ada malam yang mengerikan. Bahkan memang sama sekali tidak ada malam. Gelap hanya terjadi ketika ada seseorang yang berpulang kepada ilahi, seolah langit ikut tertunduk dan bersedih bersama seluruh penduduk yang berbela sungkawa.
Sungguh haru.
Solidaritas disini nyata bersatu.
Sekian, ayah, ibu....

Salam hangat, Mono.
*

   Sinar mentari tiba di kamar Tiwi, mengetuk-ngetuk jendalanya, meminta membukakan jendela itu agar sinar dapat masuk memeluk dirinya. Tiwi mengerti akan sebuah isyarat yang disampaikan kepadanya, kemudian membuka mata dan terduduk sejenak sambil memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar bangun dan siap untuk menjalani hari ini.

Mono nampaknya juga sudah mulai terbangun dari tidurnya semalam yang tidak ada mimpi di dalamnya. Entah, mungkin mimpi yang akan dia dapatkan adalah harapannya hari ini. Ia pun beranjak dari kamar yang ditempati, dan ke kamar kecil untuk mandi.
Selepas mandi, ia duduk di ruang tamu, tak lama kemudian Tiwi menghampiri dengan membawa nampan berisi satu teko penuh air teh, dengan 4 gelas di sekelilingnya, lalu duduk bersama dan membuka kembali percakapan di hari cerah yang baru ini.

“Nona, menurutmu apakah pengetahuan dan ilmu itu berbeda?” tanya mono sambil menyecap segelas teh hangat yang diberikan Tiwi.

Kemudian Tiwi tersenyum, dan menjawab “tentu saja berbeda tuan, kalau menurutku pengetahuan adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yaitu menyingkap suatu kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadapnya. Sedangkan kalau ilmu itu sendiri tuan menginginkan penjelasan lebih lanjut, atau dalam arti tuan perlu mencari lagi dari apa yang dituntut pengetahuan. Misalnya, tuan mengetahui bahwa bilangan dua itu lebih besar dari bilangan satu, sedangkan bilangan dua lebih kecil daripada bilangan lima. Tuan meyakini akan kenyataan itu, dan tetap tidak akan percaya bahkan membantah jika ada yang menyatakan sebaliknya. Itu masih tuan bisa sebut sebagai pengetahuan. Serupa itulah tuan mengetahui, karena itu merupakan sebuah teori yang tuan yakini dan teori itu konsisten dari teori yang sudah ada, dari sebelumnya. Maka cara berpikir tuan termasuk dalam teori koherensi di filsafat matematika, tuan.”
Mono diam terenyuh dan sambil membayangkan lalu memikirkannya, mengingat ingat kata-kata yang diucapkan Tiwi.

“Lalu, nona. Bagaimana contohnya ilmu?”

“Misalkan begini, pengetahuan bagi seorang nelayan adalah ia tahu betul saat pasang-surutnya air laut, tapi itu akan menjadi ilmu baginya apabila ia mengetahui mengapa air laut bisa pasang. Oh, ternyata karena daya tarik bulan yang menyebabkan air laut di sebagian belahan bumi ini menjadi pasang. Nah, begitu tuan sekiranya contoh kecilnya.”
Kemudian untuk menenangkan situasi, Tiwi meminum tehnya sambil menikmati cemilan-cemilan yang berjajar di meja ruang tamunya itu.

“Tuan, apa tuan memiliki pengertian tersendiri mengenai pengetahuan?” ujar Tiwi dengan bibir yang masih basah oleh teh.

“Aku sulit mengucapkannya, tapi menurutku, pendapat nona sudah mewakili apa yang ingin aku utarakan. Hehe”
*

Didalam sebuah perenungannya, Mono banyak sekali mendapatkan pelajaran. Dari ucapan-ucapan yang di lontarkan nona Tiwi, Pak Bio, dan Nyonya Tiwi sampai seluruh pekerjaan yang dilakukan dalam penduduk di negeri mimpi itu besar sekali makna-makna yang tersirat sebagai bekal pada masa hidupnya nanti setelah ia keluar dari pertapaan. Tapi, hingga saat ini ia masih belum merencanakan waktu untuk keluar dari pertapaannya. Baginya, bertemu dengan nona Tiwi adalah sebuah cinta yang agung, yang selalu membuatnya nyaman, tenteram, banyak mengetahui, mudah sekali mengerti dan menerima. Cinta yang sederhana, sekalipun berada dalam lingkup yang berbeda. Ia jatuh cinta, pada lisannya yang selalu berucap dan tersenyum, pada matanya yang menampilkan teras hati teduh. Hingga tertanam dalam benaknya, “Jika hakikat adalah memang begini adanya, aku siap untuk jatuh dalam keadaan cinta.”

Ia jatuh cinta akan kekayaan hati setiap penduduk, dan kesederhanaan yang dilakukan semua orang disana. Bekerja tetap bekerja, tapi tidak mengambisikan harta. Mempunyai jabatan syukurlah, tapi tidak lupa daratan. Entah mengapa di dalam benaknya, yang tersimpan dari negeri itu adalah kekayaan hati, kemakmuran yang bukan hanya menampilkan pada nilai material, tapi juga spiritual, meski tidak diucapkan secara formal. Lebih dari itu, penghayatannya dalam pada tataran spiritual sehingga mampu mengantarkan manusia untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Di negerinya, spiritual menjadi sebuah perdebatan antara benar atau salah. Tapi di negeri mimpi yang ia pijak itu, spiritual menjadi kelengkapan diri, sebuah kesempurnaan pada semua yang dicari sehingga menciptakan kesejahteraan. Mungkin bukan hanya menimbulkan hati yang bersih, tapi fikiran yang juga tetap jernih. Mempunyai kreativitas, sampai berpikir positif tanpa batas. Entah kapan ia akan kembali pada dunianya, ia masih ingin berlama-lama. Belajar dan belajar, baginya di dalam hati yang sehat terdapat pikiran jernih yang tetap terawat. Ia masih berminat mengejar mimpinya menjadi orang hebat, tapi lebih rincinya yaitu maju dari kisah hidupnya.

Seutas nama di kain meronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang