BAB II

29 5 0
                                    

Pendidikan Sekolah Dasar

  Mono kecil mulai menapaki bangku sekolah, di usia lima tahun ia menjejakkan kaki di jenjang pendidikan pertamanya pada sekolah dasar. Memang pada saat itu, ia terbilang cukup muda untuk anak-anak biasanya bersekolah. Karena kata ibunya, mono tidak ingin bersekolah di taman kanak-kanak, ia ingin seperti kedua kakaknya yang memakai seragam merah putih dengan gagahnya. “Gak mau, maunya seragam yang kaya mbak.” begitu ujar Ibunya mengenang.

  Rasa nasionalismenya sudah sedari kecil sudah terlihat. Tentu saja, itu juga apabila orang-orang yang lebih tua di dalam keluarga tersebut dapat memaknainya.
Mono bisa dikatakan sebagai seorang anak-anak yang punya mental besar, dan dari modal nyali inilah mono mengawali mimpi. Bagaimana tidak, mono yang belum bisa membaca dan menulis langsung masuk ke sekolah, di saat teman-teman sudah lancar membaca, dan menulis. Bahkan, dalam mengeja saja ia jauh sekali berbeda.
Sebagai contoh, “S-a, Sa, p-u, Pu. Makan”
Sangat jauh sekali hasil kata dengan ejaannya.
Tapi si ibu memaklumi hal itu, berbisik tanpa sepengetahuan mono kepada guru SD di kelasnya yang satu-satunya mengajar untuk semua mata pelajaran tingkat dasar. “Bu, nitip Mono ya. Dia belum bisa apa-apa, kalo emang belum bisa di naikin ya gausah dinaikin gapapah Bu, saya nitip dulu anak saya buat sekolah disini. Dia maunya langsung SD.”
Bu guru tersenyum, matanya memancarkan cahaya yang berbeda kepada mono. Itulah sebabnya hingga dewasa, sang guru SD tersebut tak pernah melupakan Mono, tak jemu bertanya kabar ayah ibunya, terutama ibunya yang dulu akrab sekali bertanya-tanya tentang kemajuan Mono di sekolah.
Tentu saja, bukan karena hanya menitipkan Mono sekolah saja lantas membuat ibunya tidak mengajarkan pendidikan dan materi-materi kepada mono, justru ibu malah tekun mengajarkannya. Saban malam, diruang TV atau ruang keluarga itulah Mono belajar mengeja sampai bisa. Disaksikan karyawan ayahnya yang mondar-mandir mengambil makan, atau ke kamar kecil. Disaksikan perabot yang bertengger, televisi yang menontonnya, lampu yang berpijar memberikan sinar seraya pandangannya kepada bocah mungil itu.
Tiap minggu, tepat libur sekolah tiba. Mono tak pernah meninggalkan tv yang menayangkan acara-acara kartun lucu yang hingga dewasa masih menjadi kegemarannya.
*

Perlahan tapi pasti ia tetap belajar, walau sang ibu dengan tertawa mengajarinya membaca dan menulis, tapi tak pernah luput untuk selalu menambahkan semangat di hati. Ibu mampu melalui berbagai hari, demi pendidikan dan menyukseskan Mono sampai mendapatkan banyak wawasan tentang pengetahuan, karena itulah cita-cita sang ibu.
   Sampai pada suatu masa, ujian kenaikan kelas di depan mata menyapa mono yang siap tidak siap harus siap.
Mono yang awalnya ia tidak bisa sama sekali mengeja, menjadi pandai bermain kata, menjadi paham menelan kalimat. Sesuai pertanyaan-pertanyaan saat itu yang perlu dibaca dengan teliti dan menggunakan logika. Dan ada pula pertanyaan berhitung yang ia hadapi, semuanya dilewati dengan tanpa kesusahan berarti. Mono melesat cepat, bahkan melewati teman-temannya yang sudah mahir segalanya di awal masa sekolah. Beberapa temannya banyak yang tidak naik kelas, lalu Mono mendapatkan peringkat 3 dikelasnya. Menjadi tiga besar adalah sebuah anugerah bagi orang tuanya. Tapi tidak bagi mono, ia terlalu lugu untuk berbangga, ia belum cukup mengerti untuk sebuah arti predikat peringkat di kelasnya. Hal-hal yang membuat ia merasa senang adalah ketika orang tuanya senang, ketika ia naik kelas, dan ketika banyak yang membicarakannya. Entah itu bersifat memuji atau mencela, ia terlalu acuh untuk berkecil hati. Menurutnya yang harus ia lakukan adalah tetaplah berbuat hal yang sama dalam menuntut ilmu di sekolah, terus seperti itu, dan akan tetap seperti itu, sampai kapan pun.
Ia terlalu lugu dan tidak mengerti bagaimana cara menyombongkan diri.

“Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.”
Tepat sekali pepatah tersebut tercermin dalam kehidupan Mono.
*

  Hari-hari berganti dalam masa sekolah dasar mono, tiba saatnya ia menghadapi tes yang lebih besar lagi. Katanya, ketika ia mengadu kepada ayah dan ibunya, banyak guru-guru yang mengatakan ujian kelulusan. Namun ini berbeda, kata ibunya. “Ini bukan cuma ujian yang mengulas kembali daya rekam transformasi ingatan, nak.”
“Lalu ujian seperti apa, bu?” Tanya Mono sambil membuka pakaian seragamnya setelah pulang sekolah.
“Ini ujian kelulusan, nak. Kalau kamu berhasil, kamu akan lulus dan bisa melanjutkan pendidikan selanjutnya, yaitu SMP atau Sekolah Menengah Pertama. Ujian itu namanya UN, atau Ujian Nasional. Kamu belajar yang rajin ya, nak. Biar lulus, buat ayah dan ibu bangga. Kurangin waktu main kamu.”
Melihat tatapan mata ibu yang serius, membuat Mono mengernyitkan dahi, dan menajamkan tatapan di alisnya, “Iya, Bu. Bantu aku belajar ya.”
Ibu tersenyum, ketika melihat anak laki-laki pertamanya itu yang bersemangat untuk belajar. Sungguh, semua ibu cukup sederhana, ketika melihat anaknya bersemangat, membuat hati ibu luluh. Walau terharu bagaimanapun, seorang ibu tetap akan selalu menyembunyikan air matanya agar tidak melunturkan semangat anak.
*

Ujian sudah waktunya Mono hadapi, ia membeli barang-barang berupa pensil, penggaris ebtanas, rautan, dan penghapusan. Semua tertata rapi di dalam kotak tempat pensil. Dan juga, doa ibu serta doa ayah yang sama rapihnya berbaris di dalam kepalanya.
*

Setelah dua minggu berlangsung, tibalah surat  yang menyatakan bahwa Mono berhasil lulus, kemudian ia bersiap untuk melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.
***

Seutas nama di kain meronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang