Scene 4

37 13 2
                                    

"Nayna!" Bentaknya, gue terkesiap, netra kami beradu, ada kemarahan tertahan disana. Dia berdiri, mengusap wajahnya frustasi, gue hanya menunduk sedikit takut, baru kali ini Juna ngebentak gue kasar.

"Jangan pernah asal bicara Nay, Lo kok gampang banget ngomong putus?" Dia marah, gue yakin. Bicaranya aja udah pake lo-gue. Gue gak punya pilihan lain Jun, kalo nanti pun Lo tau semuanya, gue yakin lo bakal mutusin gue. Seenggaknya dengan cara ini, rahasia gue gak tersebar.

Apa gue egois?

Iya, gue egois. Sangat egois, gue lebih mementingkan diri sendiri, dan gak memikirkan perasaan Arjuna. Tapi gue belum siap, setelah nanti Arjuna ninggalin gue, semua orang pun pasti bakal ngejauhin gue. Bahkan mungkin keluarga gue juga terkena imbasnya. Sekali lagi, siapa sih yang mau punya hubungan sama mantan napi!

"Ma-maaf Jun, hubungan kita emang harus berakhir." Bulir air mata terus mengalir di pipi gue.

Kedua tangannya memegang bahu gue, gue masih menunduk, "Liat gue Nay," gue masih bergeming, tak mengindahkan perkataannya.

Kemudian satu tangannya mengangkat dagu gue, akhirnya netra legam itu gue tatap juga, "Liat mata gue Nay, jernihin pikiran Lo. Lo tau kan gue sayang banget sama Lo. Gue tau, ada masalah lain kan selain soal Jihan?"

Dengan susah gue tahan isakan yang akan keluar dari mulut gue, "Aku cuma mau putus Jun,"

Setelah mengatakan itu, gue lihat raut wajahnya berubah seketika, sekilas gue lihat matanya yang sedikit berkaca-kaca. Gue udah nyakitin dia! Apa gue pilih opsi pertama? Ngebiarin rahasia gue terbongkar? Tapi apa Juna juga masih mau jalin hubungan sama gue?

Sebelum gue bicara lagi, dia sedikit demi sedikit menjauh, dia berbalik dan pergi menjauh setelah mengatakan kata "Terserah!"

Setelah punggungnya menghilang, gue gak bisa tahan tangisan yang sedari tadi memaksa untuk keluar, gue menangis terisak di keheningan lapangan dari tribun yang gue pijak.

____

Bel pulang berbunyi nyaring, dengan buru-buru guru Bahasa Indonesia itu pamit keluar kelas. Mungkin dia juga ingin cepat-cepat pulang, juga disusul anak-anak lain yang segera berhamburan keluar.

Hari ini terpaksa gue pulang nebeng sama Sabil, dia sempat nanya kenapa gak sama Arjuna, gue cuma jawab, "Arjuna ada urusan."

Setelah sampai di rumah, gue dikejutkan oleh sosok anak kecil yang berlarian di ruang tamu.

"Kak Ayna!" Dia berlari kecil ke arah gue, sontak gue merentangkan kedua tangan menyambutnya senang ke pelukan gue.

"Ica, kakak kangen banget sama kamu." Kata gue sembari memeluknya gemas.

"Ica juga kangen." Gue mengendong nya, berjalan mendekati mamah juga nenek yang sedang duduk di ruang tv.

"Eh kamu udah pulang Nay." Kata mamah ramah, nenek yang menyadari kedatangan gue ikut berdiri.

"Nayna udah gede aja ya, makin pangling." Gue menurunkan Ica, kemudian menyalami nenek.

"Iya nek, nenek apa kabar? Udah lama gak ketemu, apalagi sama Ica."

"Alhamdulilah sehat, Ica juga sering nanyain kamu nih." Kata nenek lalu duduk kembali. Beliau bernama Ratih, ibu kandung dari mamah Tiara.

Sebenarnya mamah Tiara itu bukan nyokap kandung gue, dia istri kedua ayah. Bunda gue udah meninggal sejak umur gue masih 12 tahun, saat gue, ayah dan Oji masih di Bandung. Selang 2 tahun ayah menikahi wanita cantik yang bernama Tiara Maharani, yang sekarang gue panggil mamah.

Stay BehindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang