BAB : 07

136 44 35
                                    

Plakkk!

Bughhh!


Nova tersungkur saat ayahnya mendorong dirinya hingga kepalanya mengenai ujung meja. Sakit, bahkan sampai mengeluarkan darah, tapi Nova berusaha menahannya.

Ini masih pagi, baru jam enam. Tapi dirinya sudah harus menerima siksaan fisik dari ayahnya. Alasannya? Karena tanpa sengaja Nova menyandung kaki ayahnya. Padahal Nova yang tersandung dan jatuh, tapi ayahnya yang marah dan menyiksanya.

"Ayah... Maaf yah... Nova gak sengaja." Nova terisak, berusaha meminta maaf agar ayahnya mau berhenti menyiksanya.

Disisi lain ibunya hanya menonton, bahkan sesekali menyuruh suaminya untuk menyiksa lebih anaknya itu.

"Sini kamu! Bangun!" Angga -ayahnya- mengangkat tubuh Nova, hendak membanting gadis itu. Sampai suara pintu yang dibuka sangat keras mengalihkan perhatiannya.

BRAKKK!

Itu Ten, dia langsung berlari kearah Nova dan melepas paksa cengkraman Angga dari Nova yang kondisinya kini sudah sangat mengenaskan. Darah dikepalanya masih mengucur.

Ten sama sekali tidak mempedulikan Angga yang kini hanya diam berdiri di tempat. Ten sempat melirik tajam kearah pria yang berusia hampir 47 tahun itu. Membuat Angga sedikit menciut.

"Ayo bangun, bisa kan?" Ten membantu Nova agar bisa bangkit dan memindahkannya duduk di sofa. Lalu pandangannya kembali ke Ayah dan Ibu Nova.

"Ternyata kalian masih berani nyiksa Nova? Kalian gak takut sama ancaman aku bulan lalu? Kalian kira aku cuma bercanda!?" Ten berucap datar, namun terasa jelas aura mencengkam disana.

"Ten, udah Ten. Jangan apa-apain orangtua gue. Gue gapapa. Ayo langsung berangkat ke sekolah aja." Nova berusaha menarik tangan Ten agar segera meninggalkan rumahnya. Ten menurutinya, tapi sebelum pergi pemuda itu tampak seperti memberi ancaman pada orangtuanya. Membuat Nova sangat panik.

Jika kalian bertanya kenapa Ten seberani itu pada orangtua Nova, jawabannya mudah. Kalau kalian mengenal Ten, tentu kalian juga akan berhati-hati padanya.

Dia, Chittapon Leechaiyapornkul, anak dari pemegang saham terbesar dari hampir semua perusahaan yang ada di Indonesia. Jadi rasanya semua orang akan berpikir berkali-kali jika akan berbuat sesuatu pada pemuda itu.

Bukankah wajar kalau orangtua Nova takut pada Ten? Apa lagi Angga bekerja di rumah Ten sebagai tukang kebun. Bisa-bisa dirinya langsung dipecat dari pekerjaannya.

"Udah ayo berangkat." rengek Nova agar Ten bisa cepat meninggalkan orangtuanya.

Ten tidak menjawab, tapi dia tetap menuruti permintaan Nova. Mereka berangkat menunggunakan mobil hitam kesayangan Ten. Hanya keheningan yang menemani perjalanan mereka. Ten masih emosi dengan kejadian barusan. Sedangkan Nova panik sendiri karena Ten sedari tadi hanya diam. Jarang sekali Ten diam seperti ini. Dia biasanya sangat berisik. Kalau Ten sampai benar-benar diam, itu tandanya dia sungguh dalam emosi yang tinggi. Sampai Nova pun rasanya tidak berani walau hanya untuk bersuara.

Setelah menempuh sepuluh menit perjalanan, kini mereka sudah sampai di parkiran sekolah, Nova hendak turun, tapi Ten menahannya.

"Lo mau ke kelas dengan kondisi begitu? Darah di kepala lo aja belum dibersihin." ucap Ten datar. Lalu pemuda itu mengambil kotak P3K yang ada di mobilnya, "Sini, gue obatin dulu."

Nova menurut, dia hanya diam saat Ten mengobati luka di dahinya. Perih, benturan tadi membuat kepalanya juga merasa sedikit pusing.

"Ten, kok lo diem aja sih? Ngeri gue!"

RELATIONSHIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang