Rintik hujan masih terus berjatuhan menghantam tanah, menghasilkan beberapa genangan air di halaman rumah. Hujannya sangat deras, ditambah angin yang juga berhembus kencang membuat Nova merasa sepertinya dia bisa saja mati karena kedinginan.
Namun, walau kondisinya sebegitu mengenaskan, dia tidak menangis kok. Sungguh!
Ah, lebih tepatnya sudah tidak menangis. Dia sudah puas menangis lima menit yang lalu. Benar-benar puas. Karena dia bisa mengeluarkan suara tangisannya tanpa perlu ditahan. Kenapa? Itu karena pasti suaranya akan terendam suara hujan. Jadi tidak akan ada yang mendengarnya.
Tapi sekarang rasanya Nova benar-benar sudah tidak kuat dengan rasa dinginnya lagi. Dia ingin sekali berada di kamar dan menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut tebal kesayangannya. Tapi itu tentu mustahil untuk sekarang ini.
Mengingat betapa miris nasibnya saat ini membuat air mata yang dari tadi berusaha ditahan kembali ingin keluar. Tidak, tidak. Nova tidak boleh cengeng! Dia kuat!
Sebenarnya Nova sudah menelpon Ten. Ingin menumpang di rumah temannya itu. Tapi telpon Ten sepertinya tidak aktif. Jadi panggilan telpon Nova tidak dijawab.
Ingin menelpon Vergan juga sebenarnya. Tapi rasanya itu bukan keputusan yang tepat mengingat mereka sedang berjarak akhir-akhir ini. Tapi... sekarang posisinya dia tidak kuat dengan dinginnya malam yang turun hujan ini. Jadi sepertinya tidak apa 'kan meminta bantuan Vergan?
Nova mengeluarkan Handphone-nya. Beruntung masih bisa digunakan walau sudah terkena air hujan.
"Ha-halo?" sahut Vergan dari sebrang sana.
Tunggu... Kenapa matanya tiba-tiba menjadi panas hanya karena mendengar suara Vergan? Bahkan seperti ada yang mengalir dari matanya. Sebisa mungkin Nova menahan isakannya. Ia tidak mau Vergan mendengarnya.
"Hallo? Nova? Kenapa?" tanya Vergan lembut. Membuat Nova makin tidak kuat menahan isakannya.
Tiba-tiba hening untuk beberapa saat.
"Nova... Kamu nangis? Kenapa???"
Bodoh! Sudahlah, rasanya Nova sudah tidak peduli lagi akan tangisannya!
"Vergannn... Tolong..." ucapnya dengan suara bergetar.
"Kamu kenapa? Sekarang ada dimana?"
"Dirumah... Ka-kamu bisa kesini?" tanya Nova penuh harap.
"Aku lagi di jalan. Tunggu sebentar. Jangan dimatiin telponnya!"
"I-iya..." jawabnya masih berusaha menahan isakan.
Sekitar tujuh menit menunggu, akhirnya terlihat mobil hitam berhenti di depan rumah Nova. Bertepatan dengan itu juga Vergan mematikan telponnya.
"NOVA!" panggilnya khawatir begitu Vergan keluar dari mobil. Bahkan tidak peduli dengan hujan yang mengguyur tubuhnya.
"Vergan..." suara gadis itu masih bergetar, menandakan dia masih menangis.
"Kamu kok diluar?" Vergan menatap Nova penuh khawatir. Apa lagi saat melihat tubuh Nova yang menggigil hebat.
Tanpa pikir panjang lagi Vergan langsung menggendong Nova dan membawanya masuk ke mobil. Tidak lupa dia juga mematikan AC agar suhu-nya tidak bertambah dingin.
Setelah Vergan ikut masuk, cowok itu mecari handuk yang selalu di sediakannya di bagasi belakang. Begitu ketemu, ia langsung mengelapkan handuk itu pada tubuh Nova. Terutama bagian kepala dan wajahnya.
Vergan melepaskan jaketnya, walau luarnya basah, tapi dalamnya masih aman. Jadi setidaknya bisa digunakan untuk menghatkan Nova.
"Kok kamu bisa diluar gitu? Kenapa? Orangtuamu buat ulah lagi?" tanya Vergan masih khawatir. Apa lagi saat melihat tubuh Nova yang masih saja bergetar hebat. Dia pun memeluk tubuh gadis itu erat. Berusaha menenangkan tubuh yang terus bergetar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RELATIONSHIT
Teen FictionKuberitahu satu hal, percuma mempertahankan hubungan yang hanya diperjuangkan oleh satu pihak. Jadi, buat apa bertahan? Karena yang selalu berjuang ada saatnya untuk menyerah, dan berhenti.