Bab 1 [Tipu Muslihat]

147 28 0
                                    

Para pembaca yang terhormat.

Pernahkah Anda merasa, Anda lelah dengan para rubah yang menjalankan tipu muslihat? Atau mungkin Anda sendiri yang sedang merasa lelah karena terlalu sering melakukan tipu muslihat?.

Saya menyarankan kepada Anda untuk membaca sampai akhir kiat-kiat di bawah ini. Barangkali bisa membantu Anda, siapa yang tahu?.

Saya sedang berkeliling di pusat kota. Melihat senyuman palsu terkadang melihat senyuman tulus tapi terelakkan. Kemudian saya bertemu Tuan Kacang. Maaf bila saya menamainya seperti itu karena saya merasa ia sangat tidak peduli dengan keadaan sekitarnya.

Saya mencoba berbincang sedikit dengannya tentang hal sepele, tapi ia mengerutkan dahinya.

“Orang pribumi mudah terkena tipu muslihat," kata Tuan Kacang.

Saya tertawa pelan. Saya lalu menjawab, "Terlalu bodoh untuk dipikirkan, menjual jagung pun masih ragu dengan harga."

Si Tuan Kacang hanya tersenyum. Mungkin otaknya sedang berputar, entah itu memikirkan perkataan saya atau tentang hidupnya. Menurut saya, apa yang saya ucapkan tidak terlalu menohok. Tergantung otak sang penerima yang menganggap itu menohok atau tidak.

Tuan Kacang berdiri. Berniat untuk mengajak diri saya ke suatu tempat.

Saya bermonolog, "Aneh!. Untuk apa saya mengikuti kemauannya?, lebih baik saya meracik daun teh."

“Tuan Kacang! Beri saya medali agar saya tahu isi pikiran Anda." Saya mencoba memanggilnya. Sayangnya ia tak menggubris perkataan saya. Baiklah, saya berdiri lalu berjalan di tanah gersang penuh tipuan ini.

Sampai. Tempat yang tak asing bagi saya, tempat yang begitu surgawi untuk para kaum yang hanya melonjorkan kakinya dan meminum teh di cangkir emas.

“Kebenaran mati di sini,” kata Tuan Kacang.

“Mati? Menurut saya mereka tetap hidup, tapi di bawah tanda pena." Saya membalasnya, tapi sungguh saya tidak tahan akan kelucuan ini.

Tuan Kacang mengeluarkan satu lembar uang kertas. Nominalnya tidak cukup besar. Raut wajahnya mulai tidak seperti awal, kecewa mungkin? Atau karena saya terlalu keras mengeluarkan suara tawa?.

“Bisakah saya membeli tempat surgawi itu dengan selembar uang ini?” Tuan Kacang mulai serius.

Sebagian orang akan menganggap aneh. Mustahil membeli tempat surgawi itu hanya dengan selembar uang, butuh ribuan mobil pick up berisi lembaran uang merah untuk membeli tempat surgawi ini.

“Bisa saja, kalau engkau mempunyai tipu muslihat yang kuat," saya menjawab.

Mungkin jawaban saya sedikit aneh. Tipu muslihat, bahkan sebelum konglomerat berdiri kukuh di atas gedung tinggi, tipu muslihat sudah menguasai dunia ini. Saya lihat Tuan Kacang bingung. Mungkin karena terlalu lama berada di roda dua dan selalu mengayuh, ia jadi tidak tahu tipu muslihat yang telah menyerang dirinya.

Perhatikan ini para pembaca. Setelah saya memberikan jawaban di luar nalar saya ini, Tuan Kacang hanya merapikan bajunya yang lusuh itu. Mungkin ia tidak peduli, saya pun tidak peduli.

Tipu muslihat bagai perangai tetap di muka bumi ini. Tidak ada satu pun raga di bumi ini yang tidak berteman dengan tipu muslihat.

Maka berhati-hatilah.

Negeri Berkabut Argumen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang