Para pembaca yang saya sangat hormati. Pernahkah para pembaca mengunjungi suatu tempat yang sangat jarang dilihat oleh banyak orang? Dan apakah para pembaca tahu tempat apa yang saya maksud?.
Para pembaca pasti sangat sering mendengarkan kata, "Kalau sudah besar nanti saya tidak boleh seperti dia, saya tidak boleh tinggal di tempat kumuh itu, saya harus bisa sukses!"
Sudahkah para pembaca menebaknya? Tempat apakah yang saya maksud? Saya tidak akan memberitahu para pembaca, tapi saya yakin pasti para pembaca perlahan akan mengetahui tempat yang saya maksud dari tulisan ini.
Car free day memang disenangi oleh banyak orang. Semua orang yang sibuk dengan komputernya akan merelakan waktunya untuk pergi bersama orang terdekat. Berlari dan berjalan santai. Tertawa dan bercerita bersama.
Tapi pernahkah para pembaca berpikir, ada beberapa yang memerhatikan kita yang sedang bersenda gurau, menikmati kebahagiaan?. Mereka yang berpakaian lusuh dan tidak memakai alas kaki?.
Mari saya ceritakan sedikit apa yang saya lihat.
Saya sedang berlari bersama rombongan saya. Entah mengapa sedari awal saya berlari ada yang mengikuti secara diam-diam. Saya berpisah sementara dengan rombongan saya. Saya berpikir itu hanyalah orang jahil. Astaga ini sangat membuang waktu!. Kita menuju ke intinya saja.
Saya melihat ada seorang anak kecil yang membawa karung kecil berisikan kemasan minuman yang sudah tidak terpakai.
“Kenapa kamu mengikuti saya dik?" Tanpa basa-basi saya to the point.
“Maaf Kak, saya hanya ingin melihat sepatu kakak, karena menurut saya itu sepatu yang bagus,” jawabnya.
Saya berdeham pelan. “Sepatu ini adalah sepatu lama, mengapa kamu begitu tertarik?”
Ia tersenyum. “Saya mempunyai mimpi untuk menjadi seorang pelari, tapi kenyataannya saya hanyalah sebatas pemungut botol bekas."
Saya tidak ingin bertanya lebih jauh tentang kehidupannya. Menurut saya itu membuang waktu.
“Di mana rumahmu?” tanya saya.
“Di dekat pinggiran kali Kak,” jawabnya.
“Antar saya ke rumahmu." Saya harap para pembaca tidak bosan dengan apa yang saya ceritakan.
Sampai. Saya hanya bisa menggambarkan keadaan yang saya lihat. Begitu sempit, rumah saling berdempetan. Satu rumah hanya terdiri dari dua ruangan, bersekat-sekat, tembok rumah hampir hancur.
“Tinggal dengan siapa Dik?," kata saya.
“Hanya saya dan seorang adik laki-laki saya," jawabnya.
Ketahuilah para pembaca, rasanya saya segan sekali ingin mengeluh kepada yang memerintah tanah negeri ini, sudah cukup banyak argumen yang tidak didengarkan.
Bisakah saya meminta kepada para pembaca yang terhormat untuk neresapi kiat-kiat di bawah ini?.
Apakah para pembaca pernah beragumen tentang sesuatu dan argumen para pembaca tidak didengarkan. Bagaimana rasanya? Sakit? Kecewa? Marah? Sedih?.
Coba para pembaca pikirkan kembali. Mengapa argumen mereka tidak didengarkan? Apakah argumen mereka terlalu berat untuk didengarkan? Apakah argumen mereka terlalu sulit untuk dicerna? Atau memang argumen mereka sengaja untuk tidak didengarkan?.
KAMU SEDANG MEMBACA
Negeri Berkabut Argumen
Nonfiksi[Filosofi - Cerita Pendek] Tidak masalah seberapa tua Anda atau seberapa mudanya Anda. Pembaca tetaplah para pembaca, tidak ada yang patut disembunyikan jika nalar sudah menuntut koloni argumen Tulisan di atas kertas lusuh penuh goresan tinta yang...