Delapan

208 11 1
                                    

“TIDAK!”

Baru kusadari ternyata aku sudah masuk ke dalam air, tengah meraihnya. Dengan sekuat tenaga kutarik dirinya keluar dari dalam gulungan ombak laut.

“TIDAK!”

Tak kuhiraukan ketika dia meronta-ronta dalam dekapanku saat aku membawanya berenang menuju bibir pantai.

“LEPASKAN AKU!” dia mencakar dan memukul-mukul keras lenganku yang melingkar di pinggangnya.

“LEPASKAN AKU, BRENGSEK!”

Aku terus berenang, membawanya sampai ke tepi pantai. Sesudah aku mengeluarkan kami berdua dari dalam air, aku menyeret tubuh kami menjauhi pantai dan jatuh terjerembab ke atas pasir. Aku masih memeganginya, sementara dia meronta-ronta berusaha melepaskan diri dariku, sembari berteriak dan berkata-kata kasar.

“JANGAN LAKUKAN ITU!” teriakku.

Tapi dia tidak menghiraukan. Dia semakin memberontak, menggeliat, memukulku dengan gerakan liar tak terkendali. Kami bergulat di atas pasir. Jika kami kepergok oleh orang lain, mungkin aku akan dikira seperti sedang melakukan percobaan pemerkosaan terhadapnya.

Akhirnya, aku berhasil meraih kedua pergelangan tangannya, kemudian menyilangkan kedua lengannya di depan dadanya, lalu menguncinya dalam dekapanku, sementara aku memeluknya dari belakang. Noona tidak bisa memukulku lagi sekarang, namun tubuhnya terus menggeliat dan meronta, sementara kedua kakinya menendang-nendang pasir, sehingga membuatnya beterbangan terbawa angin.

“LEPASKAN AKU! SIALAN!” jeritnya histeris.

Kemudian aku berguling sambil memeluknya, dan menempatkan noona di bawah, lalu menindihnya dengan tubuhku. Kupegangi kedua pergelangan tangannya masing-masing di sisi kepalanya.

“APA YANG KAU PIKIRKAN, HAH?! KAU BISA TENGGELAM!” bentakku padanya. Amarahku meledak. Aku muak dengan apa yang dilakukannya ini.

Seketika itu dirinya membeku, dan hanya menatapku dengan kedua mata terbelalak. Ekspresinya syok, seolah-olah dirinya tengah melihat setan atau iblis. Entahlah. Aku tidak menyalahkannya jika dia beranggapan begitu, karena aku pun sadar bahwa diriku sangat marah padanya kali ini.

Kami saling berhadapan dalam jarak yang hanya sekian senti. Napas kami yang memburu saling beradu.

Sesaat kami berdua terdiam sambil terengah-engah. Kemudian ketika kesadaran sepenuhnya menguasaiku kembali, aku terkesiap mendapati wajah kami ternyata nyaris bersentuhan. Cepat kuangkat sedikit tubuhku darinya, sementara menjauhkan wajah.

“Maaf,” gumamku. Mendadak aku merasa bersalah dan gugup.

Dia terdiam, tetapi kedua matanya masih menatapku. Kini, air mata menggenang di kedua matanya.

“Mengapa…” bisiknya. “Mengapa kau selalu menghalangiku?”

Dia terisak pelan.

“MENGAPA?” lalu dia menjerit, dan akhirnya dirinya pun runtuh di hadapanku. Noona menangis dengan suara erangan pilu menyakitkan. Suaranya menggema ke seluruh penjuru pantai.

Aku bergeming, tak mampu berkata-kata, hanya bisa menyaksikannya mengeluarkan kesakitannya di depan wajahku. Sementara menangis, dirinya menarik-narik kedua tangannya yang masih berada dalam genggaman tanganku. Aku membiarkannya terlepas kali ini. Kemudian noona membenamkan wajahnya ke dalam kedua telapak tangannya. Dia menangis seraya berteriak, dan menjerit-jerit histeris.

Linger [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang