Sepuluh

208 9 4
                                    


Kulawan tarikan magnet yang kuat itu supaya kedua mata ini tidak melirik, dan kepalaku tidak menengok ke arahnya terlalu lama saat dirinya sedang makan di sampingku di meja makan. Aku senang noona mau bergabung untuk makan malam bersamaku kali ini. 

Sewaktu dirinya keluar dari kamar tidurku sehabis mandi barusan, aku dibuat tercengang bukan main. Noona akhirnya mau memakai pakaian baru yang kubeli tadi siang di pusat perbelanjaan. Jantungku seakan jatuh ke dasar perut ketika kulihat dirinya mengenakan pakaian kasual dengan model pakaian yang kupilihkan itu; T-shirt yang dikenakannya sangat pas membentuk lekuk tubuhnya, skinny jeans berwarna biru pudar yang kubeli membungkus pinggangnya yang ramping dan kedua tungkainya yang jenjang. Rambut panjangnya yang masih basah masai, diikat ketat ke belakang dengan gaya messy bun, menyisakan sulur-sulur tipis rambut depannya yang dibiarkan terurai, sehingga leher langsingnya nampak. Kesan seksi yang ditimbulkannya, semakin terpancar. 

Wajah cantik yang meskipun memar di sekitar matanya masih tergambar samar, tapi dia tetap terlihat fresh dan tanpa cela. Dia sungguh mempesona walau tanpa polesan makeup pada wajahnya. Kecantikan dan keseksiannya memancar natural, membuat kedua mataku silau dibuatnya. Noona tampak lebih muda dengan berpenampilan seperti itu, layaknya mahasiswi anggota persaudaraan di kampusku dulu. Golongan mahasiswi seksi yang digilai oleh para pria dari segala jurusan, tipe semua orang. 

Aku juga harus menahan diri untuk tidak menatap ke arah payudaranya yang tercetak dalam balutan t-shirt ketat itu — dari balik t-shirt putihnya sekilas kulihat noona mengenakan bra berwarna merah. Sungguh godaan yang lumayan sulit ditolak

Rencanaku yang semula akan mengacuhkan dirinya, gagal total. Bagaimana mungkin sekarang aku mengacuhkannya jika yang kuacuhkan sememukau ini. 

Di meja makan, kami berdua tidak berbicara. Dia hanya fokus menyantap makanan di hadapannya, dan menghindari kontak mata denganku sepanjang makan malam berlangsung. Bahkan penampilanku yang kubikin lebih keren dari sebelumnya, tidak berdampak apa pun padanya. Agak kecewa, tapi mau bagaimana lagi. 

Lalu kuputuskan saja untuk membuka pembicaraan, sebab kebisuan yang sedang terjadi di antara kami ini tenyata cukup mengganggu. 

“Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa sudah baik-baik saja?” tanyaku, tanpa melihat ke arahnya. 

“Ya, lumayan,” jawabnya singkat. 

“Bagaimana dengan luka-lukamu?” 

Terjadi jeda cukup panjang. 

Karena noona tak kunjung bersuara, maka ini adalah kesempatanku untuk melihatnya. Kutengokkan kepala ke samping kanan. Noona masih sedang menyantap makanannya, seolah tidak mengindahkan ucapanku. 

Kembali kupandangi 4x4 burger dan cheese fries yang tengah kusantap. 

“Ma —“ 

“Luka-lukanya sudah membaik sekarang. Hanya pinggangku saja yang masih terasa sedikit sakit,” dia menatapku dengan tatapan bersahabat.

Aku merasa lega.

“Oh. Kalau begitu kau tidak boleh banyak gerak dulu sampai semua lukamu seratus persen sembuh.” kulayangkan senyuman padanya. 

Sebenarnya, ingin sekali aku bertanya mengapa dia bisa sampai ke Santa Monica? Apa dia berjalan kaki sampai ke sana? Atau bagaimana? Tapi kutahan keinginan tersebut. Aku tidak ingin membuatnya tidak nyaman, dan lebih parahnya lagi membuatnya kembali melarikan diri. 

Linger [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang