Empat Belas

190 10 33
                                    

Kalimat-kalimat menjijikkan dari mulut kedua pria necis tadi berputar-putar bagai gasing di dalam kepalaku. Terngiang-ngiang di kedua telinga, seperti suara feedback yang mendenging dari pengeras suara. Menyakitkan, tapi menarik rasa penasaran dalam waktu bersamaan.

Dia menghajar salah satu penarinya.

Yang pernah kita pakai.

Yang matanya indah.

Si wanita dengan payudaranya yang… eerrghhh.

Wanita itu berniat kabur.

Hutang.

Jose sedang mencari wanita itu. 

Gigi emas mengilat si klimis dan bentuk sudut bibir yang tertarik dari temannya yang gontai ketika meludahkan semua kosa kata itu, serta bayangan noona yang tengah meliuk-liukkan tubuh indahnya tanpa sehelai benang pada tubuhnya, masih terbayang jelas di balik kedua bola mataku. Rasa muak naik tak tertahan ke tenggorokan saat mengingat kedua pria itu pernah menyentuh dan menjamah tubuh noona. 

Dan Jose, ini dia si pemeran utama yang paling ku tunggu. Jikalau benar ternyata si Jose inilah yang menghajar Iris, maka mulai saat ini lelaki pengecut itu benar-benar harus menikmati detik-detik terakhir dalam hidupnya. Karena kelak ketika dia bertemu denganku, maka takkan kuberi kesempatan lagi semua organ-organ dalam tubuhnya berfungsi. Bahkan tak akan kuberi waktu sedetik pun dirinya mengeluarkan satu patah kata dari mulut busuknya saat kupatahkan tulang leher pria itu nanti. 

Dadaku menggelegak oleh rasa murka, ku transfer kemarahanku pada kedua tangan, kucengkeram erat dan kubayangkan kemudi mobil sebagai leher pria hina itu. 

Namun, besar harapanku bahwa ocehan dari kedua pria tadi hanyalah omong kosong belaka — ocehan orang mabuk. Atau jika faktanya benar, kuharap wanita yang disebut-sebut oleh keduanya bukanlah Iris. Setidaknya aku tidak perlu membunuh seseorang. 

Tapi tetap saja, jika aku inginkan kejelasan, cara kerjanya dengan mengharuskan ku bertanya. Kegelisahan bertambah saat mengingat bahwa jalan satu-satunya adalah dengan membicarakan mengenai hal ini bersamanya, bersama noona. Mau tak mau.

Danny mendengkur keras di kursi penumpang. Bunyinya seolah mengingatkanku kembali bahwa aku tidak sendirian saat ini. Dengkuran keras menanda kalau dia bakal susah untuk dibangunkan. Sial.

Dulu, kami memiliki kebiasaan. Kebiasaan yang sebenarnya masih dilakukan sehabis mabuk, Danny dan aku pasti akan menginap di tempat salah satu dari kami. Bedanya sekarang, kami tidak membawa para perempuan gampangan yang bisa kami pakai secara bergantian. Tapi kali ini, jelas aku tidak akan membiarkan dia tidur di apartemenku.

Kucoba membangunkan Danny. Tetapi setelah sekian lama aku mencoba, Danny tak kunjung sadarkan diri.

Aku mengarahkan mobil ke jalan raya menuju ke apartemennya. Jika nanti dia terbangun, aku akan langsung menendangnya keluar. Bukannya aku tidak berterima kasih karena telah memberiku nutrisi hati dan traktirannya malam ini, hanya saja kali ini aku berada di dalam posisi di mana diriku butuh berdua saja bersama noona. 

Aku membutuhkan ruang untuk membedah penjelasan tentang dirinya yang masih menjadi tanda tanya besar bagiku. Ini bukan perkara mudah. Mengingat Iris bukanlah wanita yang hanya sekali lirik maka dia akan melucuti semua tameng yang dikenakannya. Iris bagaikan sebuah enigma yang tersimpan di tempat yang dikelilingi ranjau. Maka sebelum dapat memecahkannya, ranjau-ranjau itu harus dijinakkan terlebih dahulu. Itulah masalahku saat ini; ketika aku menginginkan penjelasan, aku harus memutar otak untuk menjinakkan dirinya terlebih dulu. Aku tidak ingin kesalahpahaman terjadi nanti, bisa-bisa kali ini aku tidak akan pernah melihat noona untuk selama-lamanya. 

Linger [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang