Uno

7.5K 615 37
                                    

“Jika cinta itu sungguh ada, lalu kapan aku merasakannya?”

★★★

     Devan memutar bola matanya jengah, dia pegal karena dari tadi Bia yang selalu jadi pemenang dalam permainan Uno malam ini. "Bi, lo ngalah kek sama gue sebentar. Please, ya, kali ini aja," ujarnya matanya sedikit berbinar binar, mencoba merayu agar Bia mau mengalah dengannya.

      "Gak mau!" decak kesal Bia sambil melipat kedua tangannya di depan dada, lalu menyandarkan punggungnya di dinding dekat pintu.

      "Dih, kalo kaya gini gak selesai-selesai derita gue, Bi. Lo terus yang menang muka gue dah kek badut gini lo coret-coret," mata  Bia langsung melirik tajam ke arah laki-laki yang baru saja menyelesaikan dialognya.

      "Cari mati nih, si Devan!" Rendy buru-buru menutup telinganya, begitu juga dengan yang lainnya.

      Devan menatap Bia cengar-cengir tak berdosa. Mengatupkan kedua tangannya memohon. "Eh, Bia, 'kan, cantik. Maap dah ya? Gue gak cape kok, sumpah. Ayo lanjut mainnya mau sampe kapan? Subuh? Kuy lah."

       "Gak ada, gak ada. Jauhan duduknya, atau gue kirim lo ke neraka, Van," titah Debia terdengar mengerikan.

      Devan meneguk salivanya. "Es krim mau, gak?" tawarnya.

      Gadis dengan kuncir kudanya itu tampak berpikir keras. Es krim bukanlah opsi yang mudah untuk dilewatkan begitu saja. Investasi yang menggiurkan.

     "Boleh. Tapi jangan bilang sama Mamah Delis kalau gue makan es krim, ya?" Devan menghela napasnya lega. Akhirnya tawaran yang ia ajukan berbuah hasil.

     "Oke lah. Ayo beli," pria dengan celana jeans hitamnya itu menyetujui dan bangkit dari duduknya lebih awal.

    "Hei, human. Jangan lupakan kami yang sudah menjadi saksi bisu dosa kalian berdua," ujar Jofan kesal.

★★★

      Entah sudah berapa mangkuk es krim yang Debia habiskan. Setelah merasa puas, ia menyenderkan punggungnya pada kepala kursi. Membiarkan rasa linglung menguasai teman-temannya.

     Bukan hal aneh, Debia memang terlalu sering melahap es krim sesuka hatinya. Dan hanya dua orang yang ia takutkan jika memakan es krim berlebihan; mamah dan papahnya.

    "Oke juga es krim di sini. Bia puas banget. Makasih ya, Van! Besok kita harus balik lagi ke sini!" matanya masih saja berbinar menatap ke sekelilingnya. Cafe yang cukup sederhana namun tampak menawan itu banyak sekali pengunjung.

     "Iya. Insya Allah. Kalo Mamah Delisha gak marah," sahut Devan sekenanya dan jelas memancing perang dunia ketiga. Debia langsung meliriknya sekilas.

      "Pokoknya Bia mau ke sini, Devan! Ah, gak mau tau, pokoknya ke sini. Titik. Kalo gak lo yang bawa es krim di sini ke rumah gue," tandasnya.

      Jofan menutup telinganya berusaha keras untuk menghilangkan alunan suara tersebut dari telinganya m hanya memekakkan.

    "Ayo ribut. Saya suka keributan," celetuk spontan Rendy.

    "Saya mohon, ya. Masalahnya jangan diselesaikan secara kekeluargaan, karena saya haus keributan." Jofan menimpali.

    "Kompor, lo pada." Devan mendengus. Entah, dia sudah bingung harus menggunakan cara apa lagi untuk bisa membuat gadis itu tidak marah dalam jangka waktu yang lama.

    "Lanjutkan, Ren, Fan. Gue suka. Goblok kalian murni, tidak dibuat-buat." Rafka menguap setelah mengucapkan hal tersebut. Membentangkan tangannya hanya sekedar merenggangkan otot.

    Debia bangkit dari duduknya, membuat yang lain juga ikut bangkit. "Ngapain kalian ikutin Bia?"

    Rafka tak mengindahkan pertanyaan adiknya. Dengan cepat ia memeluk pundak gadis itu lalu berkata, "Cepet, ayo pulang. Lebih mau pulang atau gue tendang lo ke Rahmatullah?"

    "Kayanya lo bakal masuk neraka pake undangan VVIP, Raf." Debia terheran-heran mengapa ia punya kakak sebodoh Rafka.

Devara [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang