“Harapan mulai muncul, mimpi mulai terwujud, bahagia mulai mengembang. Namun sirna karena tertohok oleh sebuah kenyataan.”
★★★
Sudah genap satu minggu Debia bersekolah. Tidak ada yang spesial menurutnya kecuali mengisi waktunya di sekolah untuk menjalankan jadwalnya sebagai Ketua Kelas. Disegani namun tak urung niat-niat para buaya darat menggoda seorang Debia Aninditha, yang dengan mudahnya menyita perhatian satu sekolah karena kedatangannya sebagai murid di tahun ajaran baru.
Suara riuh saat jam istirahat mengisi indra pendengarannya. Ia benci suara berisik. Hanya mengganggu. Dengan kecepatan yang sengaja ia naikkan, gerakannya mulai cekatan merapikan seisi barang-barang di atas mejanya.
“Mau ngantin bareng gak, Bi?” Debia tampak berpikir menanggapi pertanyaan Belva, lalu selang beberapa detik menggelengkan kepalanya.
“Gue sama temen-temen gue, Bel. Lain kali aja,” senyumnya terukir. Tak sering Belva melihat senyum itu. Karena jangankan tersenyum, untuk sekedar berinteraksi pun mereka ragu.
Belva beranjak dari tempat duduknya. “Ya udah, gue duluan ya, Bi.” Belva berujar, dan melenggang setelahnya.
Dirinya merasa ada iklim yang berbeda. Atmosfer kelasnya mendadak aneh. Seperti banyak pasang mata yang memperhatikannya, padahal tidak. Ia merasa risih sendiri. Oleh karena itu ia lebih memilih melengos dari kelasnya sendiri.
Berjalan layaknya tanpa beban yang dipikul olehnya merebak banyak iri dengki karena paras dirinya. Banyak orang mengira bahwa Debia sesempurna seperti apa yang dilihat. Debia memang benci dilihat sebelah mata, tapi yang lebih ia tak suka adalah terlalu dianggap sempurna. Sebab ia tahu, bahwa kesempurnaan tidak terunsur dalam diri siapa pun. Termasuk dirinya juga.
Suara teriakan menggema. Debia terpaksa menghentikan langkahnya di depan banyak orang. Kepalanya tergolek, berputar ke belakang, menemukan teman-temannya.
“Sendiri aja, non. Ketauan banget jomblonya,” bibir Debia mengerucut sebal merespons ulasan tak penting milik Jofan.
Spontan sang empu terbahak melihat wajah kesal milik Debia. Sungguh menyenangkan mengusili gadis itu. “Ampun, deh. Becanda doang, Bia,” ia mengangkat tangan kanannya ke udara. “Padahal emang kenyataannya gitu, sih. Tapi gak boleh cemberut gitu, jelek tau?!” imbuh Jofan.
Namanya Jofan Albert Tyas. Mulutnya yang usil kadang memang terlampau batas, tapi bukan Jofan jika berkata-kata pedas. Rafka merangkul adiknya, langsung tak langsung makin membuat Debia tersorot banyak pasang mata.
Sejujurnya Debia juga tidak begitu paham dengan popularitas cecurut rumahnya jika di sekolah, ternyata berbahaya. Mereka memiliki penggemar yang tidak main-main cara menggemarinya.
Yang kedua adalah Rafka, saudara semata wayang yang dimiliki Debia. Mungkin karena satu-satunya, ya? Pantas menyebalkan. Kedua tidak pernah akur, sebab kesukaan keduanya hampir sama. Karena walau pun Debia seorang perempuan, kesukaannya sama persis dengan Rafka, selaku kakak lelakinya.
Rendy menarik kerah seragam Jofan. “Ayo cepet ngantin. Malah gangguin cewek gue ae lo pada, kampret,” kedipan mata genit membuat Debia horny seketika. Bermacam rupa sumpah serapah berceletuk dalam hatinya. Sayang, Debia sadar, ini sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devara [Proses Terbit]
Teen Fiction[MASIH REVISI, SEGERA BACA SEBELUM TERBIT] ⚠️ Follow author sebelum membaca, sebab beberapa chapter sudah diprivate⚠️ _________________________ (U n t u k k a m u y a n g t e r l a n j u r j a t u h c i n t a) [Baca cerita ini ketika kamu sedang bah...