Argument

2.7K 325 15
                                    

dikasari. Ketika kepalan tangan mengayun, dan mendarat tepat di tempat sasaran. Dimintai berbincang, namun ego yang selalu saja menang. Impian bahagia, terlalu licin hingga mampu mencelos di beberapa orang tertentu.

      Sepertinya marun meranum lebih suka anak-anak belia menderita. Terciptanya kesengsaraan yang tidak bisa terbagi sudah banyak dirasakan remaja masa kini. Dikasari dengan alasan tidak patuh. Tanpa dimintai persetujuan, sekujur tubuhnya sudah ter hiasi lebam.

      Seorang anak lahir memang untuk berbakti pada orang tua. Sebagian manusia terlahir ke dunia dengan kesempurnaan yang diambil alih dari kebahagiaan yang didapat dari orang tuanya. Dan sisanya, terlahir sebagai pemilik definisi kekurangan hingga menciptakan pundak yang kokoh untuk tetap bertahan hidup walau tanpa sentuhan kasih sayang dari orang tua.

      Patah hati sesungguhnya, bukan ketika sedih melanda dan tak punya siapa-siapa untuk berbagi duka. Sebaliknya. Patah hati paling tinggi keberadaannya, ketika kau sedang bahagia tetapi tidak ada sedikit pun celah yang bisa menjadi tempat kau berbagi cerita.

      Banyak yang dewasa melupakan sebuah kenyataan. Seorang anak ada karena kehendak Tuhan dan restu dari mereka. Entah itu lahir membawa keistimewaan atau pun sebaliknya. Seorang anak layak dicinta.

      Keluarga yang seharusnya menjadi selimut kehangatan bagi anaknya yang sedang dirundung pelik kehidupan melawan kerasnya dunia, malah memperjualbelikan topeng sederhana yang mesti dibayar dengan harga yang tidak murah. Mental dan kesehatan hati seorang anak.

      'Tuk dicintai, ia tak punya celah. Untuk kembali, ia tak punya arah. Naungan satu-satunya yang dirinya punya, hanya seorang ibu dan ayah. Keinginan untuk bisa meluapkan segalanya, malah berbanding terbalik kala dirinya dipaksa patuh tanpa adanya kesempatan untuk berbicara.

       Orang yang layak dicinta, kadang lupa bahwa ada juga yang haus akan kasih sayang. Ia Reynhard Devara. Putra kedua dari kelahiran bayi kembar. Ia menatap kubangan air di ujung kakinya, mengenai sepatu dan membanjiri basah. Tidak punya siapa-siapa, itulah opsi paling tidak masuk akal di dunia. Namun terjadi pada dirinya.

       Reynhard Devara tersenyum miring. Mata panda tak  sedikit pun memusnahkan kadar ketampanannya. Reynhard tetap memiliki pancaran cahaya indah, dilihat dari mana jua.

       Perdebatan kecil di meja makan tadi masih saja menyayat hati, Reynhard Devara hampir kehilangan akal tiap kali dihadapkan pada masalah yang tak seimbang.

★★★


   Devan berjalan gontai menuruni anak tangga. Tangannya tiada henti mengutak-atik benda di genggamannya. Reynhard merasa sedikit jengkel dengan kelakuan Devan yang membuat dirinya berkali-kali menunggu saat setiap dentingan dari ponselnya, di saat itu pula langkah Devan terhenti lalu tertawa tak keruan.

     “Bang, cepetan sih jalannya!” Devan menoleh ke belakang, tertawa membuat kedua matanya menyipit. Entah mempertawakan apa.

     “Sirik aja lo, Hayati!” Pria itu terbahak, Reynhard makin dongkol saja dibuatnya.

      Langkah Reynhard melemah, saat melihat papahnya sudah bergeming di meja makan. Namun tak ada pilihan lain selain tetap melanjutkan derap langkahnya. Mempersiapkan mental, jikalau mendengar sesuatu ucapan yang akan dikeluarkan papahnya sewaktu-waktu.

     Devan duduk, disusul Reynhard yang ikut serta menerjunkan bokongnya di sebelah kakak kembarnya itu. Masih sama, iya Devan masih enggan melepas ponselnya. Tertawa lepas seakan dunia hanya miliknya seorang, tak memedulikan tatapan bingung dari orang di sekitarnya.

      “Sayang, makan dulu baru lanjut main handphonenya.” Ucapan lirih Lina Giomasrhella mengalun. Devan Devara menyunggingkan senyumnya. Sedangkan Reynhard dibuat mencelos hatinya. Di mana ucapan lembut itu untuknya?

     Hanya Devan? Mengapa hanya Devan?

     Ponsel berpindah ke meja. Devan Devara sudah terlepas dari jeratan ponselnya. Tatapannya menghangat melihat mamahnya menyiapkan lauk-pauk di satu wadah yang sama lalu menyodorkan piring tersebut padanya.

      Rasa canggung menghampiri Devan. Ia melihat perbedaan atmosfer wajah adiknya yang berubah. “Rey sekalian ambilin, Mah. Biar cepet gede.”

      Reynhard Devara, pria itu mengulas senyum. Devan memang kakak yang pengertian. Lina Giomasrhella kembali bergelut dengan piringnya, kembali ke aktivitas seperti awal, menyiapkan makanan untuk putranya. Akan tetapi gerakan itu terhenti, bersamaan dengan pusnahnya senyum bahagia Reynhard. Lagi dan lagi, Deva Devara adalah orang yang mematahkan semua harapan Reynhard—putranya sendiri.

      Mencekal tangan Lina, dan mau tak mau membuat gerakan istrinya usai. “Dia sudah besar, jangan terlalu dimanja nanti besar kepala.”

      Hancur sudah, senyuman Reynhard hilang berganti dengan genangan cairan kristal yang bersarang di pelupuk matanya. Tetapi urung ia keluarkan.

      “Pah,” lirih Devan.

      “Gak papa kok, Bang. Papah benar, gue bisa ambil sendiri,” tampik Reynhard.

      Mendengar perkataan dari Reynhard sontak Deva menyunggingkan senyum miris. “Setelah kamu ambil apa yang kamu butuh, segera masuk ke kamar kamu. Saya ingin berbicara dengan anak dan istri saya.”

      Keterlaluan! Devan melihat adanya kilatan kecewa pada kedua netra mata adiknya. “Pah, Rey juga anak Pa—“

      “Diam kamu!” tukas Deva cepat.

      Enggan perdebatan berlangsung lama, Reynhard segera berucap, “”Sutt, Bang. Gue makan di sini atau pun di kamar, itu sama aja, gue tetep makan, 'kan?”

      Ada muak saat Reynhard melenggang pergi. Papahnya itu selalu membuat Devan malas berhadapan dengan dirinya. Sebab menurut Devan, Deva—papahnya, selalu bersikap semaunya.

      “Seharusnya Papah gak bersikap anak kecil kaya tadi. Rey sama Devan itu sama, sama-sama putra Mamah dan Papah.”

      “Saya bilang diam, Devan!” Gertak Deva pada putranya.

      Devan memang tidak pernah melawan pada kedua orang tuanya, namun yang membuat pria itu bingung, mengapa mamah dan papahnya selalu bersikap beda pada Reynhard. “Ya udah, Devan mau susul Rey.” Putusnya.

      “Devan, saya bilang saya mau berbicara dengan kamu dan Mamahmu.” Devan kalah telak. Bukan hanya langkah Devan Devara yang ikut terhenti, karena suara keras khas Deva menggema di penjuru rumah. Reynhard masih jelas mendengar seruan itu. Langkahnya turut terhenti.


Devara [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang