“Karena pada kenyataannya, aku tidak pernah takut jatuh cinta. Yang aku takutkan adalah, jika orang yang aku cintai dengan penuh hanya mencintaiku separuh.”
★★★
Delisha menggeleng mendengar keributan kecil dari putra-putrinya. Sudah tidak kaget, keduanya memang selalu meributkan hal-hal tak penting. Semacam jam tangan contohnya.
Ada sesuatu yang membuat hatinya menghangat, ia dikaruniai anak yang terbilang sangat membanggakan. Melahirkan putra-putri cantik dan tampan dengan kredikat attitude yang bagus.
Herman makin mencintainya semenjak putrinya terlahir ke dunia, Debia Aninditha. Dua buah hati yang begitu ia cintai, Rafka dan Debia.
Debia misuh-misuh, susah sekali mengambil benda apa pun itu jika sudah berada di tangan Rafka. Putri tunggal Sanjaya itu masih merasa jengkel dengan kejadian di sekolah tadi, apalagi ledekan teman-teman sekelasnya yang tak kunjung mereda. Semenjak pulang juga, Debia selalu saja marah-marah.
Ia kalah telak. Membalik tubuh, untuk berpindah tempat. Duduk dengan kaki yang menyilang, menatap tayangan di layar kaca televisi. Biarlah, jam impiannya diambil alih oleh Rafka. Sudah putus asa.
Rafka tertawa penuh kemenangan. Rasanya senang sekali jika menjahili adiknya tersebut. Debia lucu jika sedang menahan marah. Lebih lucu lagi jika emosinya meletup-letup meminta untuk diledakkan. Selalu. Ledakannya selalu dahsyat, namun tak sedikit pun mengajari Rafka artinya berbaik hati pada adik sendiri.
Debia menggembungkan pipinya. Dengan tak tahan, Rafka menusuk hingga pipi gembul Debia hingga teriakan marah terdengar dari si empu. “RAFKA! SAKIT TAU?!” dirinya memekik. Sumpah demi apa pun, perut Rafka sakit dibuatnya.
Tidak ingin terlihat memihak pada Rafka, Delisha menghentikan tawanya walau pun enggan. “Rafka... ”
“A—abisnya lucu banget, Mah! Sensi mulu nih, anak. Bingung Rafka,” ucapnya.
Delisha beranjak, mendekati putrinya. “Kamu kenapa, Sayang? Ada yang ganggu kamu di sekolah tadi?”
“Tuh, Rafka yang gangguin Bia terus, Mah! Udah tadi pagi Bia ditinggal berangkat. Minyak telon Bia ditumpahin. Rambut Bia dikuncir asal. Jam Bia diambil. Terus pipi Bia ditusuk-tusuk. 'Kan ngeselin!” tawa yang sempat terhenti kini tak mampu lagi ditahan. Rafka kembali terpingkal-pingkal hingga jatuh dari sofa. Matanya menyipit, pelupuk matanya mengeluarkan air bening.
“Tuh, 'kan. Sekarang malah diketawain! Ngeselin banget,” pekik Debia, kesal. “Bia masuk kamar aja, ah. Gak mau makan. Rafka ngeselin! Bia gak mau makan bareng sama dia!” sekali sentakan Debia bangkit dari duduknya. Melenggang pergi meninggalkan tawa yang meledak-ledak.
Padahal tidak ada yang lucu.
“Marah 'kan adikmu. Minta maaf sana,” imbuh Delisha pada putranya.
“Dibeliin es krim empat cup juga langsung dimaapin.” Setelahnya, Rafka kembali tertawa.
Humor gue anjlok.
★★★
Terik menyambar bumi. Sinarnya terang sekali. Sejumlah orang ada yang tidak suka keluar dari rumah karena alasan tersebut. Terlebih lagi alasan-alasan yang memang masuk di akal, alasan yang menjadi resiko jika tetap nekat keluar rumah.Cahaya matahari menembus lewat celah jendela. Seorang gadis menggeliat malas menghindari cahaya tersebut. Mengganggu tidur saja!
Hari libur adalah hari kesukaan yang walau pun tidak ada keberadaan di kalender masa. Tidak bersejarah namun menyenangkan. Iya, menyenangkan. Akhir pekan juga titik tertinggi di mana kemalasan sudah mencapai puncaknya.
Dan kesempatan agar dapat menetralisir kesenangan bersama-sama.
Tak sedikit orang yang memekik senang jika hari libur tiba, lalu berubah masam kalau mengingat bahwa esok hari akan kembali melangkah.
Cecurut rumah Bia, itulah sebutan bagi para teman-teman Debia dan Rafka. Tidak ada hari tanpa kicauan tak penting milik mereka. Rumah besar keluarga Sanjaya mesti selalu digemingi pria-pria yang memiliki kadar ketampanan yang tidak main-main. Namun sayang, rada tidak waras.
Ah, tidak waras dalam artian bukan gila, melainkan tingkah mereka yang mendekati kata 'gila'. Jika dipilah-pilah, hanya Amar yang masih waras di sini. Dilanjut Devan yang seperempatnya agak waras. Catat, agak. Dan sisanya ada Jofan dan Rendy. Dua makhluk yang jika disatukan pasti saling menistakan.
Jofan Albert Tyas, pria asli Indonesia ini sedang sibuk berjoget ria. Tetapi mulutnya tak pernah berhenti mengunyah. Masakan Delisha Aninditha memang selalu menjadi pemenang di hati siapa saja. Gratis pula.
Devan Devara duduk berdampingan dengan Debia. Keduanya memang dekat. Dekat sekali. Pertemuan keduanya saat pesta ulang tahun menciptakan sebuah ilusi tersendiri bagi mereka.
Seperti biasa, Uno adalah mainan kesukaan Debia. Dengan senang hati Devan melawannya. Jika menang akan mendapatkan imbalan. Devan berjanji akan membelikan banyak es krim jika gadis itu menang. Sedangkan Debia berjanji akan memberikan sesuatu yang Devan masih rahasiakan.
Ada Rendy Saputra, teman pria yang begitu berani mengatakan perasaannya secara terang-terangan pada Debia. Akan tetapi Rafka tak terkecuali teman-temannya yang lain hanya menganggap ungkapan kasih sayangnya sebagai lelucon.
Debia tidak pernah menolak. Tidak juga menerima. Tiap kali Rendy bersikap manis kepadanya, selalu saja ada topik pembicaraan yang teralihkan. Alih-alih tak ingin membuat pria itu sakit hati karena jawabannya.
Suara ponsel berbunyi menghentikan permainan malam ini. Tumpukan handphone di atas meja sudah ditata rapi. Dan ternyata ponsel Devan yang berbunyi. Tanpa aba-aba Devan meletakkan benda tersebut di telinga. Nyaris tak terdengar obrolan mereka. Lalu setelahnya Devan kembali duduk, merapat pada teman-temannya.
“Siapa?”
“Pacar gue. Biasa, minta dianter belanja.” Debia memilih mengatupkan bibirnya. Ia tahu Devan mempunyai pasangan sejak lama, tapi rasa itu masih sama. Dirinya selalu kalah telak tatkala Devan membahas kekasih hatinya.
Tak seperti Debia Aninditha, Devan—pria itu kembali melanjutkan permainannya. “Ayo lanjut.”
Debia tersentak. Menggelengkan kepala, lalu kembali terjun ke permainannya. “Kalau gue menang, lo harus jadi pacar gue, Van.”
“Hah, apa?!” sebab suara bernyanyi milik Jofan yang tak punya nuansa, Devan gagal mendengar keinginan yang Debia ajukan secara lirih.
Debia kembali menggelengkan kepalanya. Untung gak kedengeran! “Enggak! Enggak! Untung lo budek, Van.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Devara [Proses Terbit]
Teen Fiction[MASIH REVISI, SEGERA BACA SEBELUM TERBIT] ⚠️ Follow author sebelum membaca, sebab beberapa chapter sudah diprivate⚠️ _________________________ (U n t u k k a m u y a n g t e r l a n j u r j a t u h c i n t a) [Baca cerita ini ketika kamu sedang bah...