"Ada kalanya semua berganti."
★★★
Kaki jenjang yang berketuk di lantai sekolah makin banyak yang serupa. Tapi tidak, tiap gadis memiliki standar kecantikannya masing-masing, bukan? Tinggi atau pendek. Hitam atau putih. Dikatakan kita hidup di negara yang memiliki banyak sekali jenis kecantikan, baiknya jangan paksakan standar kecantikan orang lain pada diri kita.
Bertolak belakang dengan gadis yang lain, Debia Aninditha kini hanya sibuk dengan ponsel di genggamannya. Tidak memiliki teman sebaya adalah opsi yang paling tidak mungkin, tapi itu terjadi nyata kepada dirinya. Debia menyukai sunyi, tetapi ia pun membenci sepi. Debia menyukai damai, tapi benci ramai.
Tidak ada pertanyaan tanpa jawaban. Namun, apakah kamu tahu semua jawaban dari pertanyaan yang akan dilayangkan padamu? Itulah mengapa kamu juga perlu bertanya. Kamu bukan takut ketinggian, kamu hanya takut terjatuh. Kamu tidak takut sendirian, kamu hanya takut kesepian. Kamu tidak takut keramaian, kamu hanya takut menyita perhatian. Kamu tidak takut kegelapan, kamu hanya takut tak memiliki pegangan. Dan kamu pun tidak takut mati, kamu hanya takut amal-amalmu belum begitu cukup untuk memenuhi kebutuhanmu di akhirat nanti.
Debia adalah gadis monoton yang tak akan melibatkan orang lain dalam dunianya. Menyeret yang lainnya hanya akan menambah beban. Berteman apalagi menjadi sahabat akrab dengan sesama perempuan pun hanya akan menyita energinya.
Bila dibandingkan, ada banyak sekali siswi cantik di SMA besar Garuda. Termasuk Pinkan Rawlles. Siswi kelas sebelas yang dinobatkan sebagai pemenang hati most wanted di sekolahnya. Devan Devara. Apa ada yang mengenal nama pria itu?
Kepopulerannya sempat meledak-ledak di tahun ajaran baru angkatannya. Apapun yang ia miliki tentu tak pernah lepas dari sorotan mata. Namun, seiring berjalannya waktu, nama Pinkan tak lagi mengapung di permukaan. Semester awal ini, sekolah masih dihangatkan dengan rona pipi Debia Aninditha-siswi pendatang baru di tiga bulan belakangan.
"Kurang suka aja gue, tahun kemarin kita pake ada acara Maba. Sedangkan tahun ini gak ada. Dulu kita mana bisa nampilin wajah songong kayak junior sekarang," cerca seorang siswi-teman semeja Pinkan.
Seisi kantin dipenuhi ratusan siswa-siswi kelaparan. Menanggung napsu yang tampak sekali di kilatan mata. Dari kelas sepuluh yang selalu salah di mata seniornya, hingga kelas dua belas yang tampak menguasai seisi sekolah. Bukankah tiap sekolah selalu begitu? Paling tua dianggap paling berwewenang.
"Jangan iri, jangan dengki." Melanie menimpali. Yang ada di pikirannya adalah, setiap tahun pasti ada perkembangan dan perubahan.
Pinkan berdecih mendengar sahutan Melanie, "Tetep aja gue gak suka sama tampang mereka. Boro-boro nyapa, jalan aja sengaja angkat dada. Biar dibilang apa coba?"
"Nah! Bener banget. Rada gimana gitu gue liatnya. Miris. Osis tahun ini gunanya apa, sih?" Nadin kembali bersua.
Melanie menggeleng. Kembali fokus ke makanannya. Meladeni ketiga temannya sama saja seperti menjemur pakaian di tengah teduh melanda, tak ada gunanya.
"Apalagi ketua kelas sepuluh IPA empat, lagaknya sok dingin. Padahal gue tau muka-muka sok polos kaya gitu mah," ujar Brilian dengan nada yang begitu pelan.
Nadin meringsut-ringsut dalam duduknya. Apa kata Brilian barusan? "Hah? Ko ngomongin apa? Sa gak paham. Otak sa gak sampe."
KAMU SEDANG MEMBACA
Devara [Proses Terbit]
Dla nastolatków[MASIH REVISI, SEGERA BACA SEBELUM TERBIT] ⚠️ Follow author sebelum membaca, sebab beberapa chapter sudah diprivate⚠️ _________________________ (U n t u k k a m u y a n g t e r l a n j u r j a t u h c i n t a) [Baca cerita ini ketika kamu sedang bah...