“Kesuksesan itu diraih, bukan dinanti.”
★★★
Debia Aninditha bergegas melewati kerumunan lelaki di koridor sekolah. Banyak godaan dan siulan menyebalkan. Dirinya harus datang sendiri setelah ditinggal oleh teman-temannya sebab telat bangun.Kaki jenjangnya berpacu kian cepat. Rambutnya terkibas tertiup angin. Semerbak harum khas bayi tersirat saat gadis Bandung yang bercampur negara Ausse itu melengos, berjalan dengan banyak mata yang tak lepas darinya.
Pancaran cahaya yang ia punya membuat banyak hati langsung terpikat. Kandidat primadona di SMA Garuda kian bertambah populasinya. Semenjak menjadi siswi, dan menjadi primadona ke sekian, hanya Debia yang kecantikannya sulit tertandingi.
“Debia lagi, Debia lagi.” Seorang gadis berdecak. Dirinya sebal sebab kedatangan gadis bernama Debia Aninditha, berhasil mengalihkan perhatian hampir seluruh pria di SMA Garuda. Hingga fansnya sudah hilang, kini malah menjadikan Debia sebagai impa-impi mereka.
“Cuma menang bule sama bersih doang dianggap cantik. Norak banget cowok-cowok di sekolah ini.” Apa katanya? Dengkimu sudah menguasai diri, Nona.
Sulit memang teruntuk seorang perempuan menyatakan kelebihan perempuan lain. Sampai pada akhirnya mereka sendiri yang terbakar api dengki. Culas belajar, hingga tidak bisa memilah mana yang salah dan benar. Lengkap sudah dengan kaum perempuan yang haus akan puja-puji.
Setelah berhasil mencapai pintu kelas, Debia langsung menerjunkan bokongnya. Ia mendengar banyak seruan yang mengarah padanya. Dari suka sampai tidak suka. Namun Debia lebih memilih menuli.
Debia Aninditha adalah seorang gadis yang mempunyai tiga sisi malas. Yang pertama adalah malas mengurus hidup orang lain. Yang kedua adalah malas mendengarkan ocehan simpul orang-orang yang bertingkah seolah paham betul inti kehidupan dirinya. Dan yang terakhir adalah malas berbaur kepada orang-orang yang krisis otak.
Tak lama kehadirannya disusul oleh seorang guru yang datang membawa aura berbeda. Guru tampan berikut baju yang begitu pantas ia kenakan datang menimbulkan sorak-sorai semangat dari kaum hawa.
Pak Lee Min Park, guru matematika yang berasal dari Korea ini tampak sumringah sekali. Tiap mengajar menang hanya Lee Min Park yang bisa mengambil hati murid-muridnya karena sikap rendah hatinya, terutama para gadis-gadis.
Saat berbicara memang belum terlalu benar polanya. Walau pun ia sudah menetap selama tahunan di Indonesia, cara berbicaranya tidaklah menyimpang dari kenegaraannya.
“Selamat pagi.”
“Pagi, Pak!” Lee memang menegur sapa, namun pandangannya hanya mengarah pada Debia.
“Oke, saya hanya mau mengumumkan bahwa Minggu depan sekolah kita diundang menjadi salah satu peserta dalam Olimpiade Sains Antar Sekolah. Dan saya ditugaskan untuk mengambil lima orang dari satu angkatan kalian. Empat orang yang terdiri dari Gio, Fira, Genta, dan Lintang. Saya berpikir untuk mengambil sisanya dari kelas kalian,” ungkap Lee panjang lebar.
Hanya Debia yang terlihat tenang-tenang saja. Tentu murid seperti dia tidak akan terpilih. Ketua Kelas yang terkesan tak biasa ini mempunyai sisi gelapnya, malas.
Tiap kelas tentu memiliki keunikan tersendiri. Memiliki anggota dan lain-lain sebagiannya yang juga beda daripada kelas lainnya. Tidak mungkin sama. Golongannya juga terdiri dari kesukaan yang berbeda-beda.
Dari si malas yang langsung molor jikalau tidak ada guru, bahkan ada guru pun tetap memilih molor. Ada si manis yang menjadi pengintai kelas berisik sedikit, siap-siap adu ke guru agar mendapat attention. Si pintar yang memiliki wibawa mukti yang mantap. Si penyanyi dadakan yang tiap jam kosong menghiasi kelas dengan suara absurd nan tak mengenakan miliknya. Si kutu buku yang meski pun jam kosong tetap memilih membaca buku. Dan yang terakhir ada band dadakan yang sudah mengatur tugas masing-masing dengan apik.
Lain hal dengan Debia, anak-anak X IPA empat terlihat sedang mewanti-wanti, takut nama mereka yang keluar dari bibir Lee Min Park. Debia Aninditha sangat yakin, bahwa namanya tidak akan pernah mencuat di sekolah karena prestasi.
“Debia Aninditha, saya pilih kamu untuk bergabung dengan empat teman kamu yang lain.”
Deg.
Semua mata menyoroti gadis cantik yang duduk di barisan paling belakang. Ibu Ketua yang dikarunia pada kelas mereka kini akan menjadi kebanggaan sekolah, jika menang. Rautnya datar, ekspresi wajahnya tidak terbaca.
Entah gadis itu senang atau sedih, rautnya tetap sama. “Saya gak pinter, Pak. Masih ada Yuli, Nadya, Audrey, Rahayu, Pandu. Mereka bisa Bapak ambil karena mereka deretan lima besar di kelas ini, kalau Bapak lupa.”
“Kamu meragukan pilihan saya, Debia?”
“Saya tidak meragukan pilihan Bapak, sama sekali tidak. Karena yang saya ragukan adalah diri saya sendiri. Jadi Bapak gak perlu repot-repot merasa kalau saya meragukan Bapak.” Perdebatan kecil berlangsung. Memang hanya Debia yang berani. Banyak siswa lelaki yang menggeleng tak percaya dengan keberanian Ibu Ketuanya.
Helaan napas panjang berlalu. Lee Min Park memang mesti sabar menghadapi anak-anaknya. Termasuk Debia Aninditha. “Olimpiade Sains tahun ini tidak hanya berbekal pada materi pelajaran, semacam matematika, IPA, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Arab, Korean, tapi juga berpijak pada pola pikir. Saya meminta kamu bergabung untuk menjadi perwakilan satu-satunya SMA Garuda di bidang Public Speaking.”
“Kenapa harus saya?” Belva melongo. Lalu menyenggol pelan lengan teman semejanya.
“Terima aja, Bia. Keren, lho!” Belva berbisik.
“Karena kamu pintar dalam menjalankan Public Speaking sebagai Ketua Kelas. Dari banyaknya kelas angkatan kamu, hanya namamu yang menjadi pilihan terakhir guru-guru di sini. Sudah jelas? Saya tidak mungkin memilih kamu kalau tidak ada persetujuan dari pihak sekolah dan jajaran guru.” Debia yang tadinya menoleh pada Belva—teman semejanya, kini berfokus kembali pada guru di depan sana.
“Lima besar katamu? Sedangkan kita saja baru memasuki bulan ketiga.” Guru dengan pakaian biru langit yang membungkus dirinya kembali melanjutkan komentarnya.
“Bukan lima besar itu maksud saya, tapi lima besar yang selalu mendapat atensi dari guru karena kepintarannya,” sahutnya.
Lee Min Park terkekeh gemas. Ia memang suka membuat gadis bule itu tersulut emosi. “Oh, jadi kamu mau diperhatikan juga? Jadi kekasih saya dan kamu akan mendapatkan perhatian saya sepenuhnya.”
Suara siulan sontak membuat pipi Debia bersemu. Bukan merasa tersanjung, lebih tepatnya merasa telah direndahkan di muka umum. Sialan!
“Maaf, Pak. Tapi saya tidak minat,” kalimat itu ditandai sebagai penutup. Dan menyetujui tawaran guru yang sudah ia anggap sebagai pria menyebalkan.
Bukan hanya Lee Min Park yang dibuat terpingkal-pingkal sebab wajah Debia, teman-teman sekelasnya juga sama halnya.
Lee Min Park memang menyukai muridnya yang masih belia itu. Dan menunjuknya sebagai salah satu perwakilan sekolah akan membuat dirinya terus bisa dekat dalam masa pembinaan. Ia bersumpah tidak akan melewatkan kesempatan kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devara [Proses Terbit]
Teen Fiction[MASIH REVISI, SEGERA BACA SEBELUM TERBIT] ⚠️ Follow author sebelum membaca, sebab beberapa chapter sudah diprivate⚠️ _________________________ (U n t u k k a m u y a n g t e r l a n j u r j a t u h c i n t a) [Baca cerita ini ketika kamu sedang bah...