“Dekat menjadi asing, asing menjadi dekat. Ini hanya tentang waktu.”
★★★
Hari Sabtu kian merambat cepat ke Minggu, di mana kemalasan pemuda-pemudi Indonesia akan berada pada puncaknya. Karena besok sudah dipastikan, mereka harus kembali berkutat dengan hal yang sudah pasti melelahkan.
Debia membulak-balikan tubuhnya menghadap kanan juga ke kiri, memegangi perutnya yang terasa teremas sesuatu yang tak terlihat.
Menstruasi, membuat mood-nya makin naik turun tak keruan, rebahan pun rasanya sakit merasakan perut yang seperti dibelit-belit benang kusut.
Jam baru menunjukkan pukul setengah lima pagi, dan ia sudah harus merasakan rasanya diganjar oleh kebiasaan rutin setiap bulannya sebagai seorang wanita.
Debia menggeliat di atas kasur, mencari posisi di mana ia mampu menghilangkan rasa sakit di perutnya Ia mengambil mengambil handphonenya nakas, membuka sosial medianya hingga sesekali meringis karena remasan di perutnya.
"Minta tolong sama siapa, ya?" gumamnya bertanya pada dirinya sendiri.
Debia memencet tombol call pada kontak Devan yang kebetulan terlihat sedang Online, tak mau basa-basi ia sangat butuh pundak, juga beberapa makanan ringan saat seperti ini.
“Halo, Bi. Kenapa?” ucap pria di seberang sana.
“Mmm, gu—gue ... gue ganggu, ya? K—kok lo begadang, sih?” Debia dibuat tak enak sendiri.
“Ya kali ganggu, santai aja. Gue gak begadang, baru selesai mandi, lagi nunggu azan.” Devan menyahut. Mengatakan sesungguhnya.
Entah mengapa, ada yang menghangat di hati Debia. Mendengar Devan berkata-kata, dirinya merasa sejuk sekali. Namun, sebelum angannya terlalu jauh, Debia menggelengkan cepat kepalanya. Takut ia terjebak dalam rasa yang tak terduga.
“O—oh, lo mau shalat. Ya, udah, deh. Gue matiin teleponnya, ya? Gue juga mau lanjut tidur,” tutur Debia, berbohong.
Devan memperhatikan jam di dindingnya. Dua menit lagi azan akan berkumandang. “Ngomong aja, belum azan juga.”
"Gak perlu. Perut gue cuma sakit, biasa cewek," balas Bia menggigit bibir bawahnya menahan nyeri di perutnya.
“Gue shalat dulu. Lo diem di kamar, Tante Delis 'kan gak ada, jadi lo jangan ke mana-mana. Tunggu gue ke sana,” tidak tahu perkataan Devan lebih condong ke arah penenang atau sebuah perintah, yang pasti ada senyum yang tiba-tiba terukir. Debia tersenyum.
"Gak ngerepotin? Gue manja banget gak si kalo gini?" tanya Debia hati-hati.
“Nggaklah. Mau dibawain apa?” pria yang sudah mengenakan baju Koko putih dengan bordir warna hitam di persimpangan bajunya menambah kesan tampan bagi yang memakai, tak lupa peci juga kain sarung yang sudah terpasang di bagian tubuh tertentu.
"Bawa in roti pake selai nanas aja, ya?” lirih Debia.
“Ya, udah, gue shalat dulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Devara [Proses Terbit]
Teen Fiction[MASIH REVISI, SEGERA BACA SEBELUM TERBIT] ⚠️ Follow author sebelum membaca, sebab beberapa chapter sudah diprivate⚠️ _________________________ (U n t u k k a m u y a n g t e r l a n j u r j a t u h c i n t a) [Baca cerita ini ketika kamu sedang bah...