“Semakin ditatap malah semakin memesona.”★★★
Alarm berbunyi menunjukkan pukul enam pagi.
"Sayang, bangun. Udah jam segini. Hari ini hari pertama, loh," ucap Delisha sambil duduk di tepi ranjang. Debia mengerjapkan matanya berkali-kali menggeliat sebelum akhirnya memandang jam beker di atas nakas.
"Astagfirullah, udah jam segini?" Debia bangkit dari ranjangnya dan berjalan sedikit berlari. "Ya, udah. Bia mandi dulu ya, Mah," sergahnya lalu masuk dalam bilik kamar mandi.
Delisha hanya geleng-geleng melihat tingkah laku bungsunya itu. "Dasar embrio gagal," ucap Delisha, berbicara sendiri.
Berselang lima belas menit, Debia keluar dengan pakaian mandi yang menggeliat ditubuh mungilnya itu. Tangannya sibuk menguncir rambut dengan kunciran hitam yang terselip antara kedua bibirnya.
"Nih, bajunya. Cepet pake terus sarapan Devan sama yang lain udah nunggu di meja makan, tuh." Debia terdiam mendengarnya, lalu tangannya dengan sigap menerima sodoran seragam dari mamahnya.
"Devan lagi, Devan lagi." Debia berkata lirih. Duduk di kursi depan kaca besar lalu mulai memakai seragamnya.
Kening Delisha dibuat mengerut olehnya. "Loh, kenapa, sayang? Kok kesel gitu mukanya?"
"Gak papa, Mah."
"Bener? Kalau gitu, kamu cepet rapi-rapinya Mamah gak mau kamu telat. Mamah tunggu di bawah, ya? Nanti kalau sudah siap, langsung turun," ujarnya seraya mengelus puncak kepala putrinya.
"Iya, Mah."
★★★
Debia sudah selesai, menyapu wajahnya dengan bedak baby juga tak lupa membasuh parfum andalannya. Minyak telon. Sesuatu yang begitu mustahil jika tidak melekat pada tubuh seorang Debia Aninditha.
Ia berdiri menghadap cermin, tersenyum memutar-mutarkan tubuhnya seperti Cinderella, lalu berhenti dan mencopot kuncirannya, menampilkan rambut panjang ikal hitam lekat.
“My school, i'm cooming," ucapnya pelan, berkata pada bayangannya sendiri di cermin.
Ia membalik tubuhnya merambet tas kecil berwarna coklat susu yang terlihat sangat pas pada tubuh mungilnya. Berlari riang di atas permadani Zebra membuka pintu lalu membantingnya sesuka hati.
Menuruni anak tangga dengan lihai tanpa memedulikan penampilannya. Menurunkan pangkal pahanya di kursi setelah sudah sampai di tempatnya.
Tampak banyak pasang mata yang memperhatikannya. Terutama pria yang duduk di samping kanannya. Devan.
"Ngapain liat-liat?!" bagai hantaman meteor, Devan terkejut sekali. Terkejut sekaligus malu karena sudah jelas tertangkap basah menatap Debia.
"Bia, makan. Jangan berisik." Herman mendahului sebelum Devan hendak menyuarakan jawabannya. Gadis itu patuh. Lalu diam walau pandangannya tetap menyorot pada Devan.
★★★
lima belas menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di depan pintu gerbang sekolah Garuda yang terbilang cukup mewah. Devan mematikan mesin mobilnya lalu mencabut kunci mobil, memasang kaca mata hitam lalu berlalu keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devara [Proses Terbit]
Teen Fiction[MASIH REVISI, SEGERA BACA SEBELUM TERBIT] ⚠️ Follow author sebelum membaca, sebab beberapa chapter sudah diprivate⚠️ _________________________ (U n t u k k a m u y a n g t e r l a n j u r j a t u h c i n t a) [Baca cerita ini ketika kamu sedang bah...