~ Her Butler 14 ~
"Pinjam sebentar ya~ nona kalian!"
Dalam sepersekian detik, kakiku memberat... Ia tidak berani bergerak saat lelaki itu melompat dari jendela bersama majikanku. Tetapi entah kenapa aku tidak ingin teriak, aku hanya merasa berteriak tidak akan membuahkan hasil.
Akupun berlari mendekati jendela dimana figur yang menculik nona menjatuhkan diri. Disana tiada tanda-tanda jatuh, namun sebuah amplop tersangkut diujung jendela. Seakan-akan seseorang sengaja menjatuhkan petunjuk itu tanpa disadari siapapun.
"... Ini--"
"Sudah dimulai ternyata, buru-buru sekali ya... Si sulung itu." Tamaki bergumam memasuki ruang kerja majikannya sekali lagi.
"Eh, ini rencana kalian?"
Aku memasang muka bingung dan Tamaki mengambil amplop yang berada di tanganku, ia membukanya dan hanya dengan melihat ujung suratnya. Ia langsung melempar amplopnya kembali padaku.
"Akan menjadi. Bukan artinya sudah direncanakan, bukannya kamu sudah tau juga... Akhir-akhir ini, nona sedikit berhati-hati." Ujarnya.
"Bukankah dia sedang dalam bahaya? Aku akan mengejar--"
"Tidak, kamu jaga mansion kali ini. Aku dan Carla akan mengejar anak itu..." Potong Tamaki yang mulai berjalan pergi.
"Tapi--"
"Anak itu cuman mengincar wanita. Carla ayo kita sedikit merias..."
Sekali lagi Tamaki memotongku, namun kali ini dengan senyum lebar di bibirnya. Apa orang segalak dia menyukai riasan? Demi... Apa?
Kepalaku kutolehkan ke arah tumpukan surat diatas meja kerja majikanku. Hampir semua amplopnya berwarna sama, namun sesuatu menarik perhatianku dan ini adalah permulaan dari pilihanku untuk kedepannya.
Hanya itu yang ada saat ini.
~ His Lady 14 ~
Kali ini aku pingsan, namun tersadar karena satu alasan yang cukup simpel. Sungguh memalukan untuk mengatakannya tapi...
Aku lapar.
"Kakak! Sudah bangun? Ini kami sudah menyiapkan bubur!" Ucap seorang gadis.
Gadis tersebut memiliki perawakan lebih dewasa dibandingkan dua lelaki muda di belakangnya. Aku menatap bubur tersebut cukup lama...
Jadi aku terbangun setelah diculik, kemudian gadis ini memberikanku bubur. Apakah perutku seberisik itu saat pingsan? Bahkan air pun tidak disodorkan.
"Kalian kira aku sampah? Lebih baik aku tidak makan..."
Aku melemparkan piring yang berada di hadapanku entah kemana. Tiga anak kecil di hadapanku menatap kecewa dan salah satu yang tertua memeluk adik-adiknya.
Aku tahu, nada kejam terdapat di kalimat dan aksiku. Namun, mereka sudah melakukan kesalahan kepadaku. Bisa saja ini sebagian dari kebaikan mereka, tapi menyodorkan bubur daripada air putih terlebih dahulu... Bukankah sesuatu ada yang janggal?
Dengan mudahnya emosiku tersulut, hanya karena bubur yang sudah diracuni oleh ketiga adik-beradik tersebut.
"Satu lagi... kalian tidak akan pernah merasakan, saat ayah kalian sendiri me--?!"
Aku terdiam... Saat merasakan benda tajam yang menempel di leherku. Nafasku tercegat, takut? Tidak. Naluriku berteriak tentang hal yang lain, aku lapar dan aku sudah mengulang kata-kata itu berulang kali. Sampai akupun muak mengingat keadaanku sendiri, bodoh, ya?
Lelaki yang menculikku... Namanya Ryoka, anak sulung dengan tiga orang adik, Dua laki-laki dan satu perempuan. Catatan kriminalnya sejauh ini adalah Rapist dan Pencuri, serta menculikku.
Mataku mendelik melihat anak-anak kecil dihadapanku, adegan seperti ini adalah hal yang sangat tidak pantas untuk dipertontonkan benar-benar tidak elegan. Kutahu itu dan si sulung sepertinya paham, ia melipat kembali pisau lipatnya sembari menghela nafas.
"Hargailah makanannya..."
"Lebih baik tidak makan, kamu kira aku sebodoh itu... Tidak mengetahui kandungan bubur yang diberikan adikmu?" Gumamku.
Ryoka hanya terkekeh pelan, ia berdiri dihadapanku dan jarinya yang diselimuti sarung tangan hitam mengangkat daguku. Memaksaku melihat matanya, namun aku melihat kearah lain.
Hampir saja lupa.
"Kukira nona kaya sepertimu, sama seperti orang-orang lainnya. Oh? Bukannya tidak sopan melihat kearah lain saat lawan bicara sedang ngomong?"
"Nona kaya? Orang-orang? Aku tidak segampangan semua yang kau sebutkan, jadi jika kamu punya waktu hargai posisimu."
Akupun memukul tangan Ryoka dan berjalan kearah jendela melihat keributan di luar. Orang sebanyak ini? Apa dia yang mengundang mereka? Aku juga tidak bertanya tujuan dia padaku sebelumnya.
"Ramai, ya... Anehnya ini bukan cara kerjamu, kan? Ada yang menyuruhmu?"
Pertanyaan itu membuat Ryoka membelalakkan matanya, ia mendekati adiknya dan berbisik. Sempat terjadi penolakan dari pihak sang adik, namun bentakan terakhir Ryoka membuat mereka semua mengangguk lemah.
Ia pun mendekatiku dan langsung menarik lenganku. Walau dia tidak menjelaskan, tetapi aku tahu jelas ini tidak sesuai rencananya dan sepanjang perjalanan yang kudengar hanya desisan kesalnya.
Aku yang sudah muak berhenti dengan menarik lenganku secara paksa dari pegangannya, Ia cukup kaget dengan aksiku namun satu katapun tidak keluar dari bibirnya melainkan secercah senyuman. Mungkin senyuman ini yang membuat wanita-wanita yang bersamanya luluh?
"Hei, aku bisa membantumu dan keadaan adik-adikmu. Tetapi ada syaratnya..."
Saat itu, angin berhembus cukup kencang hingga membuat rambutku melambai tidak santai. Tatapannya berubah menjadi serius dan aku dapat merasakannya, walau aku melihat kearah lain. Tapi Ryoka cukup menarik, Ia paham saat ini keadaannya bisa saja menguntungkan baginya.
"Kau bahkan tidak pernah tahu masalahnya. Jangan banyak bicara dan ikuti saja aku,"
"Keras kepala," bisikku.
Akupun berjalan melewatinya, tidak mengindahkan panggilannya. Mau bagaimana lagi kalau seperti ini, kalau aku menjadi dirinya aku akan mengangguk tanpa basa-basi. Apa kepalanya lebih keras dari batu ya, benar-benar menyebalkan.
"Hei! Sebentar!"
Panggilan terakhirnya membuatku menoleh dan menatapnya. Sial, ini semua antara sengaja dan tidak sengaja menatapnya.
Tidak butuh waktu lama, efek samping yang kualami pada saat di Desa Enoki muncul kembali. Adrenalinku berdesir kencang dan semua ingatan Ryoka seakan-akan masuk kedalam kepalaku hanya dalam satu tatapan.
Aku tidak bisa menjelaskan keadaan Ryoka saat ini tetapi yang jelas dia tercengang dan aku hanya bisa muntah ketempat yang cukup aman saat semua adegan terus berputar di kepalaku. Menjijikkan.
Rasanya jantungku terdengar lebih jelas dan kakiku mulai memelas. Panggilan-panggilan mulai memenuhi telinga namun yang bisa kulakukan hanya menutup mata. Sekali lagi mengetahui kunci utama permasalahan, tanpa ada kesalahpahaman dengan menatapnya.
"Seharusnya seperti ini... Sejak awal. Dasar keras kepala." Bisikku jatuh dalam dekapan yang kuyakini adalah Ryoka.
~ Her Butler and His Lady 14 ~
YOU ARE READING
Her Butler & His Lady
General Fiction"Selamat datang pelayan baru..." "Tempat ini dan seluruh isinya adalah milikku... jangan pernah menyentuh yang adalah milikku" "Aku benci mata ini..." "Kenapa tidak pergi dari sini?" "Bahkan aku tidak pernah menanyakan namanya..." "Apakah salah jika...