Chapter 11

30 3 0
                                    

~ Her Butler and His Lady 11 ~

"Mata itu sangat berbahaya, karena dia tidak sempurna... efek sampingnya akan muncul jika kamu menggunakannya terus menerus."

Sembari menjelaskan, roti di lidahku bahkan sudah kehilangan rasanya. Susu sapi yang seharusnya memberi sedikit rasa manis untuk pagi hari ini.

Bahkan tidak mau berbagi sedikit saja kemanisannya.

"Jangan menatap orang sembarangan!!"

Sekali lagi tamparan lurus itu memberikan secercah warna merah di pipiku. Sakit tapi tidak berdarah.

"Jika ayah, bahkan ibu hilang... kamulah satu-satunya harapan kami. Bisakah kamu memegangnya?"

Suara ibu yang terdengar manis, tidak bisa kubalas dengan manis.

Lidahku terasa pahit sekarang, mual bahkan pusing bergabung menjadi satu saat mengingat kejadian-kejadian berdarah yang menimpa keduanya.

"Nak? Kenapa tidak menjawab? Ayo jawab? Kami menunggu jawabanmu!"
"Dasar tidak sopan! Kamu perlu dihukum!"
"Padahal hanya menjawab! Apa susahnya! Kamu harus bertanggung jawab atas kematian kami!"

Semuanya terus berulang-ulang, perkataan yang sama dan juga suasana mencekam yang sama. Rasanya nafasku semakin berat melihat kedua figur orang tuaku menjulurkan tangannya kearah leherku.

Suara itu seakan memutar-mutar kepalaku dan terus bergema semakin keras, seakan-akan ada alat pengeras suara yang dipasang di dekat telingaku.

"Ini hanya mimpi..."

Dengan dorongan kalimat itu sontak kupaksakan diriku membuka mataku dan langsung meraup oksigen disekelilingku sebanyak-banyaknya, saking rakusnya dengan oksigen akupun tersedak dan terbatuk-batuk kecil.

"Hei, tuan putri! Sudah sadar ya? Padahal aku membuatkan teh, tapi kamu malah dengan rakusnya melahap oksigen."

Perlahan kutolehkan kepalaku kearah sumber suara tersebut, tentu saja tanpa melihat matanya. Suara ini, rambut kuning itu.

"Carla, ya?"

Mendengar namanya disebut ia menghentikkan langkahnya yang baru saja ingin mendekatiku, dia cukup ragu. Sampai-sampai tangannya bergetar.

"Jangan khawatir, aku suka Dandelion Tea." Jawabku.

Perlahan kuturunkan kakiku dari ranjang kecil yang sudah kutempati itu dan menerima teh buatan wanita di hadapanku ini. Setelah satu helaan nafas, dia pun duduk tidak jauh dariku dan membuka mulutnya.

"Lukisan Van Gogh di mobil-mu. Sudah ku--"

"Mau sampai kapan, kamu menyembunyikannya? Lelaki di toko bunga itu, biang keladinya kan? Aku bisa membantumu mengatakan yang sebenarnya dan memperbaiki segalanya, tapi ada satu syarat." Potongku.

"Aku tidak butuh bantuanmu, jika sudah selesai minum teh lebih baik pulang saja." jawab carla, ia menolehkan kepalanya keluar jendela.

Dari gerakannya, sepertinya dia cukup tergesa-gesa. Lagipula...

"Lukisanku memang sudah dicuri, tapi bukan olehmu."

Tersentak dengan kalimatku, ia menodongkan pistol ke kepalaku. Pistol dengan peredam suara.

Her Butler & His LadyWhere stories live. Discover now