| ANGKA 17 |
HARI Selasa, tepatnya usiaku 17 tahun. Ibu tak hentinya mengingatkan aku yang masih mengikat tali sepatu di ruang tamu, soal mengundang teman-temanku untuk menghadiri acara pestaku nanti malam.
"Xavier, jangan lupa pestanya!" ingatkan Ibu hampir kesepuluh kalinya. Aku hanya mengangguk malas, bosan mendengar pesan Ibu.
"Iya, Bu."
"Xavier berangkat dulu, Bu." Aku mengecup punggung tangan Ibu, dan secepatnya melenggang pergi.
"Ba!" aku menyentuh dada, kaget saat Alvan tiba-tiba muncul di hadapanku.
"Apa?" aku menatapnya kesal, tapi bukannya menjawab Alvan malah mengulurkan tangan.
"HBD, Ra, semoga panjang umur, sehat selalu, dan semoga kapan-kapan naksir Alvan." Aku menepis tangannya.
"Apaan, sih, Mbrot. Udah ah, ayo berangkat," aku melewatinya begitu saja.
"Cari apa?" Alvan menghampiriku. "Motor kamu mana?" aku membalas dengan tanya.
"Tuh," jari telunjuk Alvan menunjuk mobil ayla hitam di seberang jalan. "Pakai mobil kakakku. Dia cuti hari ini." Imbuhnya membuatku mengangguk paham.
"Xaviera ehe!" dahiku bergelombang ketika melihat Athar duduk di kursi sebelah kemudi. "Kenapa ada dia?" aku menatap Alvan, meminta kejelasannya.
"Nebeng. Kasihan anak tetangga." Pria itu menggeser tubuhku, lalu menunduk dan mengusir Athar. "Kamu di belakang. Anak kecil nggak boleh di depan, bahaya."
Kulihat Athar keluar dengan raut masam. Dia juga melirikku tajam, setajam duri mawar, lalu masuk ke dalam mobil bagian belakang. "Ayo, Ra, masuk!" teguran itu membuat pandanganku pada Athar teralih. Aku lantas masuk ke dalam mobil, disusul Alvan yang juga duduk di belakang kursi kemudi.
"Alvan sok ganteng. Dih. Padahal ganteng aku," suara cempreng dan sok imut itu membuat Alvan menatap tajam Athar yang duduk di jok belakang. Adik kelas itu sangat songong, memanggil Alvan tanpa embel-embel 'Kak'. Tapi Alvan tidak tersinggung sama sekali, ia sudah biasa meladeni virus semacam Athar. Maklum masih bocah.
"Xavier, kamu jangan dekat-dekat Alvan. Dia homo." Aku sempat menengok Alvan saat Athar mengeluarkan kalimat sakral itu. Pria itu sibuk mengemudi, seolah menganggap ucapan Athar hanya angin lalu.
Tak lama kemudian, mobil hitam itu memasuki halaman Golden Lotus International High School, singkatnya GLI High School. Ji el ai. Sebuah sekolah yang sangat diimpikan di kota ini, dan hanya beberapa umat yang dapat menjajalnya.
"Van, nanti aku ikut ke pesta Xavier, ya?" Athar menutup pintu mobil kasar. Anak itu memang begitu, tidak jauh dengan sifat menyebalkan Alvan. Sebelas dua belas!
"Dasar adik kelas songong!" Alvan mengumpat pelan, tapi masih bisa kudengar.
Pelajaran pertama kali ini adalah fisika. Pelajaran dimana Alvan menjadi anak emas. Di kelas ini, Alvan adalah siswa predikat tauladan dan paling kritis soal hitung-menghitung. Aku sendiri juga heran kenapa anak sebandel dan sejahil dia bisa cermat begitu. Bukankah seharusnya berbanding terbalik?
"Sudah, Pak," Alvan menutup spidolnya, memasukkannya ke dalam saku baju.
Pak Jarot selaku guru pun berdiri, semangat mengoreksi jawaban Alvan di papan persegi panjang itu. "Bagus," puji beliau saat jawaban Alvan benar.
"Saya tidak heran dengan kecerdasan kamu, sudah tampan, pintar, atlet juga. Siapa yang kamu taksir?" Alvan menggaruk tengkuk lehernya sambil menyengir lebar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn Crocus
Mystery / ThrillerJangan sentuh aku, atau kau akan mati. ## Hai! Namaku Xaviera. Kata Ibu, arti namaku 'terang', tapi kataku artinya gelap dan suram. Sejak usiaku 17 tahun, namaku bagai sumpah serapah yang mengutuk hidupku. Pahit dan mengerikan. Aku benci namaku, ak...