| ANCAMAN |
BRAK. "Saya tidak mau tahu, Xaviera harus di skors!" itu suruhan Pak Tama, ayah Medina. Setelah upacara, aku disuruh menghadap ke BK. Katanya soal kasus aku ingin membunuh Medina. Tapi kapan?
"Tenang, Pak, tenang. Sebenarnya ada apa ini?" Bu Wati menengahi. Bingung dengan laporan Pak Tama.
"Bu Wati, gadis kaleng ini ingin membunuhku, Bu! Dia masuk ke kamarku dan membenturkanku ke dinding. Dia juga ingin memusuhi dengan pisau." Medina menunjukku garang.
Aku menunduk. Bingung dengan apa yang mereka tuduhkan. Sebenarnya, aku kenapa?
"Xaviera, apakah kau ingin membunuh Medina?" Bu Wati menatapku lekat.
Aku menggeleng. "Tidak, Bu. Aku tidak pernah ingin berbuat sekeji itu." Jawabku.
Bu Wati menghela napas. "Dengar, Pak Tama, dan Medina. Xaviera tidak pernah melakukan itu. Dia anak yang baik."
"Tapi, Bu, kamar anak saya juga berantakan. Banyak perabot yang berserakan dan kaca pecah." Pak Tama tak ingin kalah.
"Iya, Bu. Gadis kaleng ini hanya sok baik!" Medina kembali berseru.
"Sudah, sudah, selama tidak ada bukti, saya tidak akan memproses kasus ini." Terdengar dengusan ganas dari Medina, juga gerangan marah Pak Tama.
"Xavier, silakan pergi ke kelasmu." Bu Wati menunjukku.
Aku mengangguk, lantas keluar dari ruangan beratmosphere panas itu. "Kenapa?" aku terlonjak kaget ketika mendapati Alvan di hadapanku.
"Kamu sejak kapan di sini?" heranku.
"Sejak kamu ke sini. Aku ngikutin kamu. Kenapa? Baper?" Alvan menaikkan alisnya.
"Enggak."
"Ya udah, ayo ke kelas. Kamu udah telat sepuluh menit," ia menarik tanganku. Tapi terhenti karena aku meringis.
"Eh, kenapa?" Alvan menatapku cemas.
"Tanganku sakit, Mbrot. Lihat," aku menunjukkan sebuah luka sayatan panjang di dekat siku tanganku.
"Eh, sejak kapan begini?" dia memeriksa tanganku.
"Aku juga enggak tahu, Mbrot. Semalam belum padahal. Mungkin kegores sesuatu." Sangkalku logis.
"Ya udah, kita ke UKS dulu, ya? Biar aku plester dan kasih salep."
Sesuai janjinya, Alvan membawaku ke UKS. Dia kini berjongkok di depanku. Mengobati tanganku telaten. Beberapa kali ia juga meniup lukaku saat ia bersihkan dengan kapas. "Dingin, kan?" Aku mengangguk.
"Pasti dong. Kan, pakai cinta." Dia terkekeh.
"Mbrot, aku mau tanya." Aku bersuara. Alvan mendongak. "Apa?"
"Kemarin, kamu temuin aku di mana?"
"Kamar Medina."
"Eum....apa aku hendak membunuhnya?" tanyaku dengan nada memelan.
Alvan mendadak berhenti mengoles salep. Dia menatapku dengan kerutan yang kentara di dahinya. "Kenapa kamu berucap begitu?"
Aku menunduk. "Tadi Medina melaporkanku ke BK karena katanya aku hendak membunuhnya." Jelasku.
"Ugh." Alvan kaget. "Tapi, kamu tidak melakukannya, kan?" dia serius.
"Itu masalahnya. Aku lupa, Mbrot. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku bisa di kamar Medina." Ungkapku jujur.
"Eh? Serius?" Alvan tak percaya.
"Iya."
"Lalu, kenapa kamu bisa ke sana? Apakah kamu dihipnotis?" ia menebak-nebak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Autumn Crocus
Misteri / ThrillerJangan sentuh aku, atau kau akan mati. ## Hai! Namaku Xaviera. Kata Ibu, arti namaku 'terang', tapi kataku artinya gelap dan suram. Sejak usiaku 17 tahun, namaku bagai sumpah serapah yang mengutuk hidupku. Pahit dan mengerikan. Aku benci namaku, ak...