X A V I E R A : 9

21 3 0
                                    

| BANDANA RAJUT |

PULANG sekolah itu, aku menetap di tribun. Menatap Alvan yang tengah mengajari pasing atas anak-anak klub voli baru dari kelas 10. Alvan memang ditunjuk sebagai pemandu ekstra voli. Bahkan kepala sekolah sendiri yang memintanya. Wajar saja, jika ada sebuah berlian yang bersinar, pasti yang lainnya ikut jua.

"XAVIERAA!!" dia sesekali menyapaku, dan aku membalasnya dengan lambaian tangan serta senyuman.

"JANGAN NGELAMUN OKE?" Alvan mengerling, kemudian berlari menghampiri junior yang butuh bantuannya. Ah, dia sangat peduli!

Kadang, aku berpikir Alvan itu bukan manusia. Dia tidak pernah marah sedikitpun, membentak saja tak pernah. Meski tingkahnya sangat aneh dan menyebalkan, semata-mata ia lakukan itu guna menghibur orang. Alvan sangat humoris, pandai, dan sopan. Tak jarang banyak yang menaruh rasa dan harapan padanya, termasuk Ibuku.

Waktu itu, aku ingat, saat aku SMP. Ibu membimbelku agar mencari pergaulan yang baik. Jika perlu segera cari pacar sebagai tameng. Dan parahnya, Ibu menyuruhku untuk berpacaran dengan Alvan.

Kamu, kan, dekat sama Alvan. Dan Ibu-Ibu kalian juga saling kenal. Pasti setuju pake banget deh. Udah...tenang aja. Jadi, kapan jadian? Perlu Ibu sama Tante Zalfa bantuin?

Glek. Momen itu masih terputar jelas di benakku. Sangaaaaattttt jeeellaaaasss. Walau sudah bertahun-tahun lalu, tapi memori itu tak pudar.

"Dor!" aku menoleh, mendapati Alvan dengan kaus dalam putih yang ia kenakan. Menampilkan lekuk tubuhnya yang buat siapapun mimisan. Kecuali aku.

"Maaf, gerah aku tuh." dia mengelap lehernya yang penuh keringat dengan tissue.

"Nih, minum buat kamu. Kasihan ndelongop gitu di sini. Kayak kurang belaian." Candanya menyodorkan plastik putih padaku.

"Ada roti juga. Kamu makan, ya?"

"Iya. Makasih, Mbrot."

"Oke. Apa, sih, yang enggak buat kamu." Dia lagi-lagi mengerling padaku, lalu bangkit berdiri. "Ya udah, kalau gitu aku ke bawah lagi, ya, Ra. Kamu di sini dulu  atau pulang naik ojol?" dia menawari.

"Nunggu kamu aja."

"Oke. Pilihan yang bagus." Alvan mengacak rambutku pelan, kemudian ia melenggang ke lapangan.

"AYO, COBA DIULANG PASINGNYA ADEK-ADEK MARMUT YANG IMUT!!"

-||-

"Ra, mau mampir dulu nggak?" lamunanku buyar ketika Alvan bertanya. Kepalaku pun mendekat di atas pundaknya.

"Iya, kenapa?" tanyaku karena tadi tidak terlalu fokus.

"Mau mampir nggak?" sesuai pertanyaanku, Alvan mengulang lagi pertanyaannya.

"Mampir ke mana emang?" tanyaku heran. Kulihat Alvan terkekeh dari kaca spion. Tawanya sangat manis dan menampakkan lesung pipinya.

"Ke hati aku aja gimana?" dia mulai menggombal. Dan aku melengos seperti biasanya. Dasar, Embrot! Kenapa, sih, sehari aja enggak gombalin aku?

"Au ah." Aku pura-pura ngambek. Sengaja ingin membuat Alvan panik dan membujukku. Biasanya selalu saja begitu. Aku sudah paham triknya.

"Kamu ngambek aku seneng tahu," satu detik kemudian, Alvan menyeletuk. "Tahu, nggak kenapa?" dia kembali bersuara.

Aku mendengus. Tapi sialnya tertarik untuk bertanya. "Apa?"

"Kalau kamu ngambek itu artinya kamu pengin dimanja sama aku."

CUIH!!

Dimanja katanya? TIDAK. Aku sama sekali tidak memintanya buat memanjakaku. Dasar, selain penggombal ternyata hobi kegeeran. Huh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Autumn CrocusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang