X A V I E R A : 7

25 4 11
                                    

| TAE KWON DO |

ESOKNYA, aku libur sekolah. Sebenarnya, aku tidak ingin libur. Tapi, Ibu yang menyuruhku libur. Katanya, kondisiku masih belum baik. Ibu juga takut kalau aku dihujat teman-teman karena Medina. "Bu, aku sekolah aja," rengekku pada Ibu yang sudah siap berangkat kerja.

Yah, aku diizinkan pulang ke rumah oleh dokter, tapi aku tidak diizinkan sekolah oleh Ibu. Dan menyebalkannya aku sendirian di rumah. Aku anak tunggal. Ayahku seorang perantau yang pulang setahun sekali, dan Ibuku sibuk dengan toko kelontongnya di jalan besar.

"Bu, aku sekolah aja," aku mengikuti Ibu sampai gerbang rumah.

"Enggak, Xa. Kamu libur dulu hari ini!" Ibu menatapku tajam, membuatku mengerucut sebal.

"Tapi nanti aku sendirian, Bu." Aku mulai mencari alasan.

"Nanti Ibu pulang jam 12. Kamu tenang aja, ya," Ibu menutup pagar rumah. Dan pergi dengan ojol yang telah dipesan.

Sepeninggal Ibu, aku masuk ke rumah. Duduk di karpet panda sambil menonton acara televisi. Sesekali aku menyantap camilan, dan sesekali mengganti channel  TV karena bosan.

"Aku bosan. Sungguh!" aku tidur terlentang. Berteriak menumpahkan keluhku.

Drrtt...drrtt...!

Ponselku berdering. Tangan kananku meraih ponsel merah itu, dan melengos saat membaca siapa gerangan si empu. "Halo, Ra, ikut aku, yuk!" wajah Alvan menyapaku di seberang sana. Yah, kami sedang video call.

"Ke mana? Bukannya kamu sekolah?" aku menatapnya curiga.

"Iya. Tapi nanti, berangkatku jam istirahat kedua, Ra." Dia menyeringai lebar.

Dahiku berkerut. "Lah, kenapa? Jangan bilang kamu bolos?" aku menuduh.

Alvan tergelak. "Hahaha. Enggak, kok, beneran deh." Dia mengangkat jari membentuk piece.

"Terus?"

"Aku izin, Ra, soalnya hari ini anak didikku lomba tae kwon do. Kak Aldi lagi ke luar kota, jadinya aku deh yang wakilkan." Dia menjelaskan.

"Terus, kenapa ajak aku?" jujur, aku bingung sama pikiran Alvan. Lah, dia jadi  perwakilan lomba, lalu untuk apa mengajakku? Aku bukan bagian dari tim, kan?

"Kamu suntuk, kan? Ya udah, ikut aja." Aku mendengus. Tapi, ada benarnya juga kalimat Alvan itu.

"Nanti aku dimarahin Ibu kalau keluyuran." Tiba-tiba saja, pesan Ibu terlintas di benakku. Kamu harus istirahat. Jeduar! Apakah aku akan jadi Malin Kundang jika itu kulanggar?

"Udah, nggak apa. Nanti aku yang bilang deh." Alvan mengompori di layar kaca.

"Udah, kamu siap-siap, ya? Aku otewe ke sana."

Tut-tut. Panggilan terputus. Aku segera lari ke kamar, mengganti baju ala anak rumahan itu dengan celana jeans dan kemeja biru samudra. Aku juga mengikat rambutku, dan memakai arloji hitam di tangan kananku.

Aku mengaca di cermin. Beres. Penampilanku sempurna!

-||-

Aku sudah duduk di mobil pajero milik Alvan, setahuku Alvan belum dapat mobil dari keluarganya sebelum usia 18. Namun, Alvan sudah bisa menyetir dan mengurus SIM. Entahlah, aku juga tidak tahu apa alasannya harus memiliki mobil saat usia 18 tahun. "Mbrot, ini mobil siapa?" tanyaku membisik, karena di belakang sana ada empat anak murid Alvan yang sibuk dengan ponsel, jalanan, dan lamunan.

Autumn CrocusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang