11. Permasalahan pelik

66 11 14
                                    

——————————————————Happy Reading💕

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

——————————————————
Happy Reading💕


Lelaki yang kini tengah berjalan dengan terburu-buru, menyusuri setiap lorong rumah sakit dengan tergesa-gesa dan panik. Binar mata kelabunya seolah berlarian kesana kemari, menatapi sekeliling yang begitu ramai oleh lalu lalang orang yang kini terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Lelaki dengan postur tubuh tegap ini tak peduli sudah berapa banyak orang yang tak sengaja ia tabrak—ketika berjalan dan menyumpah serapahinya.

Sesekali Renald menyeka keringatnya yang sudah bercucuran didahinya. Pikirannya tengah gundah memikirkan Sang adiknya. Vanila. Entah bagaimana keadaan gadis itu kini. Ponselnya sulit untuk dihubungi dan Renald pun mendapatkan kabar bahwa Novan sekarat dirumah sakit—dari Farras. Entah lelaki itu tak tahu menahu Farras memiliki nomer ponselnya dari mana.

Dan tak mau tahu.

Karena ada banyak hal yang harus ia urus, sangat membuang waktu jika hanya memikirkan hal yang tak semestinya ia pikirkan.

"Vanila!" Pekik Renald.

Gadis yang dipanggil namanya tak menoleh sama sekali ke arah sumber suara.

Renald segera berlari menghampiri Vanila yang kini terlihat begitu berantakan. Gadis ini tengah berdiri dihadapan Sang ayah yang kini terbaring lemah tak berdaya diatas bangsal.

Renald menghentikan langkahnya di sisi bangsal, tepat disebelah Vanila yang kini tengah terisak sambil terus mengelukan nama Sang ayah. Sepertinya Renald terlambat datang kesini, pasalnya ia terlihat seperti orang bodoh disana yang tak mengetahui apapun. Jika sudah begini ia harus meminta penjelasan pada siapa?

Sial, ia sudah menjadi Kakak yang tak berguna untuk kedua kalinya.

Disisi lain, tangis gadis ini pecah. Ia sudah menangis berjam-jam disamping bangsal Sang ayah. Kini pikirannya tengah kalut. Ia takut sekali jika terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan pada Papa Novannya. Sedetik kemudian, gadis ini merasakan sebuah kehangatan yang menyentuh permukaan tangan kurusnya. Tangan hangat yang selalu melindunginya, tangan hangat yang selalu ia rindukan, dan tangan yang selalu menjadi bukti bahwa ada yang masih menyayangi dirinya hingga detik ini.

Sepasang netra legam milik Sang ayah menatap ke arahnya seraya tersenyum getir. Mata yang kini sayu nan berair, mencoba tersenyum menenangkan ke arah Vanila yang kini terus menatap Sang ayah dengan perasaan was-was.

"P-Papa.. Ke-kenapa bisa sampai kayak gini, Pa..."

Cairan bening itu kembali mengalir dengan derasnya. Gadis ini terus menangis sambil memeluk Sang ayah yang kini masih terbaring diatas bangsal sembari tersenyum teduh kearahnya.

Farras yang menyaksikan interaksi antara anak dan ayah itu hanya bisa terdiam disisi bangsal. Walaupun Novan bukan orang tua kandungnya, tetapi Farras banyak berhutang budi pada pria yang kini tengah mempertaruhkan nyawanya. Novan berjasa dalam hidupnya. Mungkin jika tidak ada Novan, hidupnya akan semakin kacau karena kurangnya perhatian dari kedua orang tuanya yang sangat mementingkan pekerjaan, ketimbang anaknya sendiri. Ia juga tak siap jika harus kehilangan Novan saat ini. Pria itu sudah mengajarkannya banyak hal, membuatnya mengerti arti kehidupan yang sebenarnya. Bahkan hatinya kini seakan teriris melihat Novan dengan wajahnya yang tampak pucat pasi didalam ruang medis tersebut. Tetap mengukir senyuman diwajahnya seolah semua akan baik-baik saja.

Coklat dan VanilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang