"Mas Jaemin berangkat jam berapa?" Tanya Sajua seraya meletakkan piring berisi roti bakar sebagai menu sarapan.
"Jam 9. Mami udah berangkat?"
Tangan Jaemin terulur mengambil roti tersebut."Belum, mas."
Selang beberapa menit, Yoona keluar dengan pakaian khas kerjanya dan menemani Jaemin sarapan. Sajua langsung kembali ke dapur dan membuat teh madu untuk Yoona.
"Mami maunya kamu dapet istri yang setara." Ujar Yoona menyeruput teh yang Sajua berikan, berbicara pada Jaemin.
Sajua yang baru saja kembali dari dapur langsung menaikkan sebelah alisnya. Memperhatikan pembicaraan serius di pagi hari.
"Pengacara kek, atau kantoran kayak mami," sambungnya.
"Masih lama, Jaemin aja belum lulus," protes si bungsu.
"Mami ngasih tau, ntar kejadian kayak temen mami. Mantu dia cuma pendidikannya rendah, jadi dikucilin di keluarga besarnya."
"Mami juga mau cucu mami nanti punya ibu yang cerdas, berpendidikan."
"Abang juga, mami sebenernya ngeharepin calon abang nanti dokter juga. Tapi kalo nggak dapet dokter ya nggak papa, pengusaha kayak Oliv juga mami seneng."
Sajua tanpa sadar meremas perutnya ketika mendengar ucapan Yoona.
"Ya kan, mbak? Orangtua tuh cuma mau yang terbaik untuk anaknya. Apalagi masalah pasangan hidup," katanya pada Sajua.
Sajua tersenyum mengangguk, "bener, bu."
"Mami sekolahin kalian tinggi-tinggi tuh ya itu, biar hidup kalian nanti nggak susah, punya masa depan yang lebih baik dari mami."
"Udah, mami mau berangkat," katanya bangkit dari duduk, menyudahi pembicaraan.
oOo
Sajua terdiam, ucapan Yoona pagi hari tadi terngiang hingga tengah malam di pikirannya. Sebenarnya ia mungkin akan menyikapinya dengan santai, jika kondisinya tidak seperti sekarang.
Beberapa minggu terakhir, jam tidur Sajua tak beraturan, banyak sekali hal yang hinggap memenuhi otaknya. Ia ingin menyudahi, namun sulit.
Pikirannya melayang, airmata yang sedari ia tahan kini merebak keluar seraya menutup mulutnya dengan tangan. Menangis dalam diam.
Dadanya terasa begitu nyeri meskipun tak ada luka fisik, bahkan untuk mengambil napas pun sulit karena terlalu menyesakkan.
Seandainya, seandainya saja, tidak ada bayi yang tumbuh dalam perutnya sekarang. Mungkin Sajua tidak akan sesakit ini.
Ponsel yang sedari tadi bergetar pun kini seperti alat pacu untuknya menangis lebih dalam.
"Hai."
"Aku kira kamu udah tidur? Daritadi telfon nggak diangkat."
"Iya ini kebangun."
"Kamu abis nangis?"
"Lagi flu. Aneh ya suaranya?"
Jaehyun terdiam sejenak disana, "engga, yaudah kamu tidur aja. Besok pagi aku pulang."
Sajua sedikit terkejut mendengar ucapan Jaehyun, "kok pulang?"
"Iya sebentar. Udah ya, aku tutup. Kamu istirahat."
oOo
Jaehyun tersenyum untuk kesekian kalinya melihat Sajua, karena akhir-akhir ini mereka jarang sekali bertemu karena kesibukan Jaehyun dan Sajua yang entah mengapa perlahan menghindar darinya.