(Namakamu) turun dari motor Derian dan menatap lelaki itu sekilas. "Makasih," ucapnya.
Derian melirik perempuan itu, mendengus dalam hatinya. "Cuek banget anjir," batinnya. Tapi yang bisa dikatakan oleh Derian hanyalah, "Iya, sama-sama."
"Gue balik dulu ya," lanjutnya. Derian segera menyalakan kembali motornya dan melaju perlahan meninggalkan (Namakamu) dengan keheningan di depan rumahnya sendiri.
"Cowok gak jelas." ucap (Namakamu) sambil melihat Derian yang sudah menjauh, lama kelamaan menghilang dari pandangan matanya.
(Namakamu) segera masuk rumahnya dengan malas. Gadis itu yakin, Ayahnya masih belum pulang dari jam kerja. Seharusnya hari ini (Namakamu) balik malam karena kelas tambahan dari sekolah, namun apa daya dirinya tadi pingsan dan berakhir diantar pulang oleh panglima tempur sekolahnya. Masuk rumah sambil mengucap salam dan salamnya dibalas dari kejauhan, dari arah dapur. (Namakamu) melepas sepatu sekolahnya dan meletakkan di rak sepatu, berjalan menuju dapur yang letaknya berada jauh dari ruang utama.
"Mama, (Namakamu) udah balik." Gadis itu menghampiri Ashila sambil salim tangan.
"Kok udah balik jam segini? Masih siang loh ini, ada apa? Tumben banget?" balas Ashila, Mama (Namakamu) dengan nada lembut keibuan.
"Tadi (Namakamu) kurang enak badan, Ma. Katanya sempet pingsan di koridor terus dibawa ke UKS sama orang." jawab (Namakamu) sambil memandang hasil potongan daging yang berada di telenan.
"Loh?" Ashila menatap (Namakamu) dengan pandangan terkejut lalu meletakkan tangannya di dahi anak perempuannya itu. "Kamu sakit tah? Kalo gitu istirahat dulu gih, ganti baju. Mama bakal buatin sup sama bawain kamu obat ke kamar kamu nanti."
(Namakamu) menggeleng. "Gak usah dibawain obat, Ma. Sup aja gak apa-apa. Jangan lupa wortel sama sosisnya dibanyakin ya, Ma, hehehe." kata gadis itu sambil nyengir lalu segera keluar dari dapur dan menaiki tangga menuju kamarnya.
Ashila yang melihat hal itu hanya bisa terdiam. "Apa diumur segini, (Namakamu) harus tau tentang fakta yang sebenarnya?"
Ashila menggelengkan kepalanya dan melanjutkan pekerjaan memotong daging ayam. Lebih baik Alfian yang memberi tahu tentang fakta itu, Ashila rasa dirinya tidak ada hak sama sekali untuk itu.
________________
Derian tidak kembali ke sekolah melainkan melajukan motornya menuju tempat kerja milik ayahnya yang berada tak jauh dari perumahan (Namakamu). Lagian ayahnya tak mungkin marah dengan dirinya. Lagi pula masa muda ayahnya juga sama seperti dirinya. Urakan dan tak tahu aturan. Buah emang gak pernah jatuh jauh dari pohonnya ya, like father like son.
Derian menganggukan kepalanya saat seorang satpam menyapanya. Lelaki bertubuh jangkung itu masuk ke kantor ayahnya dengan santai, tak peduli jika dirinya masih menggunakan seragam SMA-nya. Derian segera menuju lift dan masuk, menekan tombol lantai 12 di mana ruangan kerja ayahnya berada. Setelah sampai, ia segera keluar dan menuju meja sekretaris ayahnya.
"Ayah ada di dalam gak, Mbak Jeje?" tanya Derian sambil memperhatikan kukunya.
"Ada kok, Mas Derian. Langsung masuk aja ya, Mas. Saya gak berani larang kalau bersangkutan keluarga." jawab Jeje, sekretaris ayah Derian.
"Oke deh, makasih ya Mbak Jeje cantik." jawab Derian sambil berkedip manja alias bercanda. Sementara Jeje hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan dari anak si bosnya. Anak muda zaman sekarang emang aneh-aneh ya?
Derian masuk perlahan ke ruangan kerja ayahnya sambil berkata. "Yaaaah, Ayah dimana? Ini Derian dateng." katanya sambil menutup pintu dan menguncinya dengan tombol.
"Teriak terus, kayak rumah sendiri aja. Ini di kantor, Derian. Mana sopanmu?" balas sang ayah yang ternyata sedang menatap ke luar dari jendela, berada di pojok kiri ruangan.
Ayah Derian menoleh ke arah putranya itu. "Ngapain ke sini siang-siang? Bolos ya kamu? Bandel banget."
"Ngasal. Aku baru aja anterin temen sakit ke rumahnya. Kebetulan perumahannya deket sama kantor Ayah. Aku gak mau lah sia-siain kesempatan datang ke kantor Ayah pakai izin sekolah." jelas Derian sambil berjalan menuju sofa empuk berwarna cokelat.
"Tapi pasti ada apa-apa kan, soalnya sampai ke kantor Ayah? Kalo gak ada apa-apa pasti kamu langsung cus ke tongkrongan warung depan sekolah kamu itu. Ngaku aja deh lo anak bandel." tunding ayahnya.
Derian hanya nyengir dan malah menikmati empuknya sofa.
"Ada apa?" tanya ayahnya sekali lagi, memastikan.
Tatapan Derian berubah serius. Dia membetulkan posisi duduknya. "Aku ketemu sama dia."
"Dia?" tanya ayahnya sekali lagi.
"Seseorang di 17 tahun yang lalu, di masa muda ayah." jelas Derian lagi.
Ayah Derian langsung menaikkan alisnya dan berjalan pelan mendekati anaknya. "17 tahun yang lalu?" gumamnya.
"Kamu beneran ketemu Iqbaal?" tanya ayahnya sekali lagi.
Derian mengangguk dengan mantap. "Bukan Iqbaal Dhiafakhri. Tapi Iqbaal Xavier."
Ayah Derian langsung melebarkan matanya. Lelaki berumur hampir 40 tahun itu terkejut bukan main. Iqbaal? Xavier? Memang anaknya ini memiliki kemampuan lebih tentang supranatural yang mampu memudahkan dirinya mengungkapkan sesuatu rahasia dari masa lalu, masa mudanya dulu.
Ayah Derian langsung menatap tajam anaknya itu. "Dekati (Namakamu). Kalau bisa sampai gadis itu jatuh hati padamu."
"Tapi ingat," lanjutnya. "Jangan sampai kamu beneran jatuh hati sama (Namakamu)."
"Siap, Ayah." Derian mengangguk, mentaati perkataan ayahnya.
Alwan -Ayah Derian- menatap kembali langit dari jendela ruang kerjanya. "Iqbaal, sudah lama tak bertemu ya?"
Ada senyum kesedihan dibalik mata tajam pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ten to Ten
Teen Fiction"Kamu tau, kenapa jam dinding yang ada di toko selalu menunjukkan pukul 10.10?" "Gak tau. Emangnya kenapa?" "Coba perhatiin jarum panjang dan jarum pendeknya. Kayak bentuk senyuman kan? Iya biar orang yang liat ikut tersenyum. Trik psikologi marketi...