An Act

1.1K 39 14
                                    

Hari berikutnya Akagawa-san tidak ikut sarapan bersama Ikehara.

Sampai Ikehara sudah selesai sarapan, Akagawa-san masih belum terbangun dari tidurnya. Ikehara langsung mengambil tasnya dan pergi ke sekolah. Kejam sekali, dia tidak membuatkan sarapan untuk Akagawa-san untuk dimakannya setelah bangun nanti.

"Hei, kau tidak membuatkan sarapan untuk Akagawa-san?" tanyaku sebelum Ikehara membuka pintu keluar.

"Dia baik-baik saja. Dia bisa membuat makanan sendiri." jawabnya dengan dingin.

Apa itu yang namanya teman? Saat temannya sakit, dia malah membiarkannya. Biar aku saja yang mengurus Akagawa-san kalau dia tidak mau.

Walau begini, aku masih bisa membuat makanan.

Aku juga membuat makanan untuk kucing itu.

Ngomong-ngomong, Akagawa-san pasti sudah tahu kalau banyak hal aneh yang terjadi di sekitarnya belakangan ini. Aku tahu dia tidak cukup bodoh untuk tidak menyadarinya. Lagipula, aku juga sudah menyatakan perasaanku padanya sebelumnya. Mungkin saja dia menyadari keberadaanku.

Tapi kalau dia benar-benar menyadari keberadaanku, mungkin dia akan membenciku. Aku sudah membunuh ibu dan teman-temannya.

Tapi aku melakukan semua itu karena mereka mengganggu Akagawa-san. Aku hanya melakukan yang terbaik untuknya. Seharusnya dia mengerti itu.

Kemungkinan besar Akagawa-san sudah mengetahui tentangku. Kalau begitu, sekalian saja aku memperlihatkan diriku di depannya. Mungkin ini akan mengejutkannya. Tapi aku juga ingin dia lebih mengetahui tentangku. Penampilanku juga tidak terlalu buruk. Tidak seperti hantu lainnya yang kepalanya berdarah-darah, matanya bolong atau yang dadanya sobek.

Hari ini, aku akan membuatnya mengenalku.

Jantungku berdegup kencang. Aku dapat mendengarnya sendiri. Sensasi ini tidak pernah kurasakan sebelumnya, bahkan selama aku masih hidup. Rasanya agak mengganggu. Semakin aku melangkahkan kakiku, semakin dekat jarakku dengan Akagawa-san, semakin berisik degupan dari dadaku ini.

Aku duduk di sampingnya. Wajahnya saat tertidur pulas membuatku sedikit tenang. Rambut coklatnya yang terurai membuatku inign mengelusnya. Bibir merah mudanya membuatku ingin mengecupnya. Apapun yang dia lakukan, setiap kali aku melihatnya, membuatku semakin ingin menjadikannya milikku seutuhnya.

Kurasa... Aku sudah cukup lelah menahan perasaan ini sendirian.

Tanganku bergerak mengelus rambutnya. Rambut coklatnya ternyata lebih halus dari yang kubayangkan selama ini. Sepertinya rambut Akagawa-san mengandung semacam zat adiktif. Aku mulai ketagihan menyentuh dan membelai rambutnya. Bahkan, semakin aku melakukannya, semakin aku menginginkan lebih.

Akagawa-san membuka matanya. Apakah dia dapat merasakan sentukanku? Jika dia bisa, mungkin aku adalah orang (?) yang paling bahagia di dunia ini.

Kudekatkan wajahku kepadanya. Kuharap wajahku tidak berubah menjadi merah. Aku tidak dapat membayangkan seperti apa wajah yang sudah pucat seperti mayat menjadi merah karna hal semacam ini.

Aku akan menampakkan diriku padanya.

Akagawa-san melihatku untuk waktu yang lama. Sepertinya dia masih cukup mengantuk untuk menyadari ada seseorang yang baru ia kenal sedang memandanginya dalam jarak yang sangat dekat.

Uuhhh... Akagawa-san manis sekali saat bangun tidur. Dia hanya milikku dan tidak boleh dimiliki oleh orang lain. Akan kupastikan begitu. Akan kubuat menjadi begitu.

Dahi kami kini bersentuhan. Aku dapat merasakan kulit Akagawa-san yang lebih halus dari sutra itu bersentuhan dengan dahiku. Jarakku dengannya menjadi lebih dekat. Sangat dekat. Bahkan tidak ada jarak yang memisahkan wajah kami berdua. Kalau aku mau, aku dapat menciumnya sekarang. Tapi tidak kulakukan itu. Aku lebih memilih untuk memeluknya.

Kesadaran Akagawa-san semakin bangkit. Kedua matanya perlahan terbuka lebar. Mulutnya terbuka sedikit. Tapi badannya mengkaku. Meskipun begitu, aku tetap mendekapnya dengan erat dalam lenganku. Membiarkan diriku merasakan setiap detakan jantungnya yang serasi dengan detikan jam yang tergantung di dinding ruangan ini.

Jika aku tidak mati saat itu, jika saja aku dapat bertahan hidup saat itu, aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk Akagawa-san. Untuk hidup bersamanya. Untuk menjalani masa depan dengannya, menjalani susah dan senang bersamanya, membesarkan anak bersamanya. Aku ingin memiliki anak yang banyak dengannya, dan kami akan menjadi keluarga yang bahagia. Dan menjalani hari tua dan sisa hidup bersama. Meneteskan air mata saat melihat kepergian salah seorang diantara kami. Dan saat kami berdua sudah meninggalkan dunia ini, kami dapat bertemu kembali di surga di sana. Tapi aku harus sadar bahwa itu semua hanyalah delusi. Takdir tak mengizinkan kami melakukan itu semua. Aku tahu hidup itu memang kejam.

Lama kelamaan, aku merasa tubuh Akagawa-san semakin dingin. Raut wajahnya, keadaan dirinya saat ini persis seperti saat ia melihat ibu dan beberapa orang yang menyatakan perasaan padanya mati di tanganku. Apa yang terjadi dengan Akagawa-san?

Ia takut melihatku, Benakku berkata.

Meskipun begitu, aku tetap mendekapnya dalam pelukanku. Sambil membisikkan kenyataan bahwa aku sangat sangat menyukainya, lebih dari apapun.

-- End part 12

StalkerWhere stories live. Discover now