1

139 5 0
                                    

Aku menuruni bus ketika tiba di halte tujuanku. Beberapa orang di halte tersebut melihatku aneh. Seorang gadis berambut ash blonde dengan ombre pink, memakai dress hitam beserta heels dan tas tangan hitam, membawa sebuket bunga di tengah musim panas begini, pastilah terlihat aneh. Aku menghiraukan pandangan ingin tahu orang-orang itu dan melanjutkan perjalanan.

Padahal sudah jam setengah 5 sore, tapi matahari masih bersinar cukup terik. Dan aku lupa mengenakan topi hitamku yang sebelumnya sudah disiapkan. Huh sial..

Aku berjalan menaiki tangga yang cukup tinggi dan melewati gang demi menyingkat perjalanan. Sialnya lagi, heels yang kupakai sekarang adalah heels baru, dan ternyata cukup menyiksa kaki. Aku sempat menghela nafas, tapi mengingat tujuanku membuat semangat kembali membara.

Sudah jelas kalau tempat tujuanku adalah pemakaman, kan? Sayangnya akses menuju pemakaman itu paling mudah dengan mobil, dan aku bukan dari kalangan elite. Jadi aku harus naik bus 3 kali, berjalan selama sekitar 20 menit melewati gang dengan akses yang naik turun begini. Untung kondisi gang nya tidak terlalu buruk.

Huwahh akhirnya...

Sesampainya di gerbang pemakaman yang besar aku langsung menghela nafas lega. Perjuanganku tidak sia-sia. Hehe.

Dari kejauhan aku dapat melihat sosok pria dengan setelan hitam berdiri di depan nisan yang menjadi tujuanku. Kakiku melambat, ketika aku tahu siapa pria itu. Dengan gerakan refleks aku langsung berjalan cepat ke balik pohon yang agak jauh. Aku tak mau orang itu melihatku, terutama disini.

Aku mengintip sedikit, dan dapat kulihat orang itu mengusap matanya. Huh? Dia menangis? Jangan bercanda. Tidak ada alasan baginya untuk menangis di depan makam ibuku.

Setelahnya orang itu berjalan pergi. Setelah memastikan dia benar-benar sudah pergi dari area pemakaman, aku keluar dari persembunyian dan mendekati makam ibuku.

Wah ada sebuket bunga disini. Sangat kentara kalau harganya mahal, bahkan ada label florist nya. Huh dasar orang kaya. Aku tidak dapat menahan diriku, jadi aku mengambil buket bunga itu dan menggantinya dengan buketku. Walau lebih murah, tapi ibu pasti lebih suka dengan buketku ketimbang pemberian pria itu.

Aku jadi teringat saat-saat kritis ibuku dulu. Dia mengungkapkan semua yang tidak kutahu selama 20 tahun aku hidup. Darahku selalu mendidih ketika teringat saat-saat itu, terutama dengan kenyataan yang diungkapkan ibuku.

"Ibu, aku datang. Maaf aku mengingat hal itu lagi. Dan maaf aku kembali marah karena hal itu. Tapi tidak kah ibu berfikir ini juga tidak adil? Ibu meninggalkanku kepada seorang pria yang belum pernah kukenal seumur hidupku, yang ibu bilang adalah ayahku." Entah kenapa air mataku mengalir sendirinya. Dan aku sekuat tenaga menahan agar tidak ada yang keluar lagi dari mataku.

Aku menatap langit untuk menghilangkan kabut di mataku, lalu menatap nisan lagi. "Maaf, aku benar-benar minta maaf.. Aku hanya merindukanmu, bu. Aku memang sudah besar, dan sudah hidup baik-baik saja selama 7 tahun ini tanpa ibu, tapi tetap saja aku membutuhkanmu. Aku benar-benar membutuhkanmu, bu.. hiks.. ah sial, hiks.."

Aku mengelap pipi dan mataku, menahan tangisku sebisa mungkin. "Kenapa aku harus selalu nenangis ketika mengunjungimu? Hiks.. hiks.. inilah alasanku tak pernah memakai make up mata ketika mengunjungi ibu."

Kini tangisku sudah bisa diredam, tapi aku masih sesunggukan, seperti anak kecil saja. "Padahal aku mau menunjukan sisi dewasaku ke ibu. Aku mau ibu melihat kalau aku sudah tumbuh besar dan cantik. Aku juga sangat sehat. Bahkan aku sudah bisa menggapai mimpiku yang dulu selalu ibu dukung. Ahahahaha....." Aku tertawa karena teringat tahun lalu juga mengatakan hal yang sama.

"Haaahh sial. Sepertinya aku memang benar-benar membutuhkan ibu. Lihatlah, menceritakan hal lain saja aku tidak bisa, selalu kata-kata yang sama. Akan lebih baik jika ibu bisa melihat semuanya sendiri.." Mataku kembali sendu, dan aku langsung memejamkannya sebelum air mata sialan itu kembali mengalir.

Aku kembali menatap lagit. Matahari sudah mulai meredam cahayanya. Aku mengalihkan pandanganku ke nisan ibuku lagi, dan mengelus ukiran namanya.

CHEON JINA

"Sepertinya aku sudah harus pergi. Sudah semakin sore, dan aku tak mau berjalan di pemakaman saat petang tiba." Aku melirik buket bunga mahal yang masih di tanganku. "Maaf sekali lagi, karena aku harus membuang ini. Ibu tidak memerlukan apapun dari pria brengsek itu."

Aku tersenyum sendu, smirk lebih tepatnya. Agak menyesal karena mengumpat di hadapan ibu, tapi merasa itu hal yang benar.

"Bye, mom.."

Aku berlalu dan keluar dari area pemakaman. Tidak lupa aku membuang buket itu ke tempat sampah yang kulewati.

Sebelum aku sempat melewati gerbang pemakaman, sebuah mobil sedan hitam berhenti di depanku. Aku hendak melanjutkan langkahku, ketika seorang pria tampan keluar dari pintu belakang. Pria itu mengenakan setelan serba hitam, dan memegang sebuket bunga yang terlihat mahal juga.

Aku mengenalnya. Dan aku hanya menatapnya datar.

Pria itu justru menatapku dalam. Kemudian tersenyum sendu.

"Senna."

.

.

.

To be Continued~

Just An Ordinary Love Story Of Fallen AngelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang