8

91 4 0
                                    

Aku bergumam mengikuti lagu dari radio di mobil Mingyu. Sudah 2 kali dia mengantarku pulang jika aku masuk shift siang. Semenjak kejadian (kesalahpahaman) itu, Mingyu jadi lebih protektif. Tidak heran, sih, karena aku belum menceritakan yang sebenarnya.

Mobilnya agak melambat saat memasuki kompleks apartment-ku. Saat kuikuti arah pandangnya, saat itu juga aku melihat Jeonghan. Laki-laki gila itu duduk di tangga depan pintu gedung apartment.

Apa yang dia lakukan?

"Apa itu sasaeng fan yang kau ceritakan?" Tanya Mingyu serius, protective mode on.

Glek.

Iya. "Dia hanya tetanggaku."

"Kau mengenalnya?"

Bagaimana mungkin tidak? "Iya.."

"Kau yakin?"

"Come on, Mingyu. Aku tahu orang itu karena dia tetanggaku. Sudah kubilang tidak pernah ada kejadian seperti itu lagi, jadi tidak usah terlalu berlebihan."

"Oke, kalau memang begitu." Mobilnya pun berhenti tepat di depan pintu gedung.

"Terima kasih, ya." Ucapku sambil membuka pintu mobil.

"Jangan lupa kunci pintumu yang benar." Teriaknya kencang. Mungkin sengaja biar semua orang bisa dengar.

Aku membalasnya sebelum menutup pintu mobilnya. "Iya, bawel. Hati-hati menyetirnya."

Setelah aku menutup pintu mobil, aku diam memperhatikan mobilnya keluar dari kompleks apartment-ku. Mataku bertatapan dengan Jeonghan saat berbalik untuk masuk. Aku tak mau berurusan dengannya, jadi aku hanya melengos saja.

"Itu pacarmu?" Tanya Jeonghan yang kini sudah mengekorku. Tangannya dimasukan ke saku celana.

"Apa urusanmu?"

"Hei." Tangan kanannya menahan lenganku, membuatku agak terlonjak. Reaksiku membuat dia melepaskan tangannya, dan mengusap belakang lehernya kikuk. "Maaf.. Aku hanya perlu tahu apakah dia pacarmu atau bukan."

Ada apa dengannya? Kenapa sifatnya berbeda dari biasanya? Lagipula kenapa dia harus tahu siapa Mingyu?

"Dia kakakku. Puas?" Aku langsung melanjutkan langkah setelah mengatakannya.

"Benarkah? Seperti.. kakak kandung?" Sekarang wajahnya kelewat ceria. Orang ini kenapa, sih? Kepribadian ganda? Bipolar?

Aku hanya membalasnya dengan gumaman malas. Saat hampir sampai di lantai 2, dia menahan lenganku lagi.

"Kalau begitu, bolehkah aku minta tolong?" Ucapnya ragu.

Aku menyilangkan lenganku. "Apa?"

"Ah itu.." Dia bersikap kikuk lagi. "Sepertinya lebih enak jika kita membicarakannya sambil duduk. Kau mau di apartment-ku? Atau di apartment-mu saja?"

Aku mendengus tak sabaran. "Kenapa tidak langsung disini saja? Aku lelah, jadi cepat selesaikan."

Dia menatapku ragu. Helaan nafas berat keluar dari mulutnya. Kemudian dia menarik nafas seperti sedang mengumpulkan keberanian.

"Maukah kau menjadi tunanganku?"

"HAH??!"

.

.

Setelah mendapat serangan shock darinya, akhirnya kami memutuskan untuk berbicara di mini market 24 jam terdekat. Aku menatapnya tajam. Sudah hampir 10 menit, tapi dia belum mengatakan apapun. Cuma minum bir terus.

Kenapa dia malah minum bir? Dia lupa apa yang dia lakukan saat sedang mabuk?

Aku merebut kaleng di tangannya sebelum dia sempat meminumnya lagi. Wah birnya sudah hampir habis. Memangnya dia sedang depresi? "Jangan lupa tujuan kita kesini."

Just An Ordinary Love Story Of Fallen AngelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang