3

107 4 0
                                    


"Aw, aww.." kakiku sakit bukan main ketika pertama kali berjalan setelah melepas heels-nya. Seharusnya tadi aku menolak ajakan Mingyu saja dan langsung pulang.

Aku sudah sampai di apartment studio-ku yang kecil tapi sangat cozy, dan sekarang sedang memijit telapak kakiku di kursi makan. Apartment ini berbentuk studio, tapi aku memberi sekat untuk memisahkan dapur dan meja makan dengan kamar dan meja kerja. Makanya saat baru membuka pintu akan langsung melihat meja makan, dan dapur.

Walaupun jadi terkesan sempit, tapi aku lebih suka begini. Karena aku sangat menghormati privasi. Jadi kasur dan meja kerjaku tidak langsung terekspos jika ada tamu yang berkunjung.

Ah iya. Aku belum update insta. Aku memilih foto yang diambil saat aku di makam ibuku tadi. Awalnya aku mengetik "Aku merindukanmu, ibu. Semoga tenang disana." Tapi melihat poseku yang seperti sedang senang rasanya kurang pas. Lagipula kenapa harus berfoto dengan nisan sih? Kan tidak pantas.

Akupun membatalkannya dan mengapus foto itu. Lalu aku memilih foto yang hanya menampilkan makam ibuku saja, lengkap dengan nisan dan buket pemberianku. Background fotonya terlihat asri, karena memang itu adalah kompleks pemakaman elite.

Akhirnya aku mengunggah foto itu dengan caption : "aku sudah tumbuh dewasa sekarang, jadi ibu bisa beristirahat dengan tenang ❤️"

Setelahnya aku menyalakan musik dan bersiap untuk mandi. Badanku terasa sangat lengket, seharian berada di luar dengan pakaian serba hitam. Padahal sedang musim panas.

Drrrrrtt.. Drrrrrtt.. Drrrrrtt..

Hm? Telepon? Aku melihat Caller ID nya dan langsung menggeser tombol hijau.

"Halo.. Ada apa, Dokyeom-ah?"

"Ada apa? Ada apa katamu? Kau lupa ini sudah tanggal berapa? Bukankah kau bilang akan memberikan script hari ini??"

Aku agak menjauhkan HP dari kupingku, takut gendang telingaku pecah. "Suara tinggimu bisa membunuhku, Dokyeom-ah.."

"Kalau gitu kirimkan script-nya sebelum aku benar-benar membunuhmu, Cheon Senna."

"Dokyeom-ah, kau tahu kan ini hari apa?" Tanyaku memelas.

"Tentu saja, Senna." Suaranya sesaat terdengar melembut. "Ini adalah hari deadline script , tapi kau belum mengirimkan apapun padaku." Sayangnya suara lembut itu hanya sesaat.

"Maaf ya, Dokyeom-ah, tapi aku benar-benar sedang stuck. Dan lagi, ini adalah hari peringatan kematian ibuku, bukan cuma sekedar hari deadline." Ucapku agak sedikit kecewa.

Aku memang seorang ulzzang, tapi passion asliku adalah menulis. Dan aku sudah menjadi penulis dengan nama Angeline C selama 3 tahun, lebih lama daripada menjadi seorang ulzzang. Dan selama 3 tahun itu juga Lee Dokyeom sudah menemaniku sebagai editor sekaligus manajer. Tentu aku kecewa dia melupakan hari penting begini dan malah membicarakan deadline. Lagipula aku kan cuma novelis freelance saja.

"Aku tahu." Terdengar helaan nafas pelan di seberang sana. "Bagaimana mungkin aku melupakannya. Aku hanya ingin memastikan keadaanmu."

"Hah? Kau yakin? Bukannya kau mau menagih script karena aku sudah stuck selama 2 bulan lebih?" Tanyaku agak dingin kali ini.

"Yeah.. sebenarnya itu juga hehe.." tuh kan sudah kuduga. Aku hanya memutar bola mata malas. "Lagian kau sama sekali tidak mau bicara sebelumnya. Kau hanya minta maaf dan bilang sedang stuck. Kau pikir aku tidak khawatir? Untunglah sekarang kau mau bicara. Sekarang ceritakan padaku."

Just An Ordinary Love Story Of Fallen AngelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang