Capek Main Hati

556 63 40
                                    


Asa terpaksa berpegangan pada Azzam ketika melangkah ke aula. Lutut yang sakit dan betis yang  tegang adalah kombinasi yang pas mendukung aksi memalukan tersebut. Memalukan bagi Asa karena harus mengikuti kemana Azzam melangkah. Jemari pria tersebut terjalin erat dan pas di sela jemarinya, menyalurkan kekuatan agar Asa bisa berjalan imbang tanpa pincang. Ruangan yang redup ternyata sangat menguntungkan untuk menyembunyikan rona merah yang senantiasa menghiasi wajah Asa. Dulu waktu masih ada status diantara mereka, momen seperti ini tidak pernah ada. Namun, sekarang semua yang dulu tabu malah berlaku. Pelukan, check! Pegangan dan gandengan tangan, check! Kadang Asa rasakan tangan Azzam ada di pinggangnya yang membuat kupu-kupu beterbangan di dasar perut gadis itu. Asa tidak kuasa menolak karena kondisi yang sangat tidak memungkinkan. Terkutuklah si tumit runcing yang saat ini menjepit jemari kakinya perih. Azzam sendiri tampak tenang, tepatnya pura-pura tenang. Dari tadi keringat dingin membasahi dan mengalir di punggungnya. Bersyukur ada jaz semi formal yang menyembunyikan betapa basahnya kemeja yang dia pakai.
“Aku mau pulang, nggak tahan lagi,” bisik Asa. Acara puncak sedang berlangsung. Pejabat teras dan perwakilan influencer sedang serah terima bantuan secara simbolis, diikuti oleh kata sambutan bermenit-menit lamanya. Ibarat skripsi, isi pidato sambutan tidak hanya kata pengantar, melainkan lengkap dari daftar isi sampai daftar pustaka. Wajar saja Asa menyerah dalam kondisi berdiri di atas dua kaki yang cedera dan siksaan tumit lima senti. Sedikit lagi bertahan Asa bisa pingsan.
“Kuantar ya,” balas Azzam sambil menuntun Asa menepi dan mencari pintu keluar.
“Jangan! Maksudku aku dijemput Abi.” Lelaki itu sudah mengirim pesan ke Asa bakal menjemputnya usai acara, katanya Papa yang suruh. Asa tidak bisa menolak. Sopir Asa sudah pulang karena jam kerja hanya sampai sore. Tadi si youtuber cantik itu diantar Papa karena tidak diizinkan menyetir sendirian di malam hari.
“Kalau gitu aku antar sampai depan, kakimu masih sakit kan?” Asa mengangguk. Dia tidak mau ambil resiko nekat jalan sendiri, kemudian oleng, dan jatuh lagi ke pelukan siapa pun itu yang ada di sekitarnya. Mending ke pelukan Azzam. Ups. Mereka sampai di ujung tangga.
“Hati-hati, tangganya lumayan tinggi!” peringat Azzam. Asa mendesah gugup melihat anak tangga yang harus dia turuni. Apakah lutut dan engsel kakinya kuat?
“Aku bantu,” kata Azzam sambil memindahkan tangan Asa agar memeluk pinggangnya dan dia juga memegang pinggang gadis itu agar bisa saling menopang saat turun.
“Ada wartawan nggak? Aku malas masuk lambe turah gara-gara posisi gini!”
“Nggak ada, atau mau ku gendong aja biar cepat nyampe bawah?” Asa mencubit pinggang Azzam karena usul konyolnya.
“Maumu!” ketus gadis itu. Azzam tersenyum geli.
“Tuhan sayang bet sama Aku,” katanya kemudian. Asa menoleh ke Azzam sebelum fokus ke pijakan tangga. Satu terpeleset, maka keduanya akan jatuh saking eratnya Asa mencengkram pinggang Azzam saat ini. Persendian dan engsel-engsel di kakinya benar-benar bekerjasama untuk membuat Asa terlihat manja.
“Kenapa?” tanya gadis itu penasaran. Di bagian mana Tuhan sangat baik pada Azzam? Apakah dia punya proyek besar?
“Bisa begini sama kamu malam ini,” bisiknya ketika mereka sudah sampai di anak tangga terakhir. Asa diam tidak menanggapi. Dia sedang berperang dengan hatinya. Satu sisi Asa senang berada di bawah penjagaan dan dominasi Azzam, sedang di sisi lain Asa takut harapan untuk memiliki dan dimiliki tumbuh kembali setelah beberapa bulan ini berhasil diredupkan.
“Terimakasih bantuannya malam ini.” Asa melepas pegangannya pada pinggang Azzam dan duduk di kursi tunggu yang tersedia di lobi terbuka rumah sang pejabat. Azzam mengangguk tapi belum mau beranjak.
“Udah, kamu pulang aja, atau balik lagi ke atas?”
“Aku nunggu yang jemput kamu datang, baru pulang.”

“Oh, yaudah,” sahut Asa bingung. Senang campur takut dipergoki Abi. Pria yang belakangan ini cukup dekat dengan Asa tersebut tidak menyukai Azzam. Keduanya saling diam, sibuk dengan ponsel masing-masing.
“Zam, maaf, bisa kamu menjauh sekarang? Abi bentar lagi datang.” Katanya menelan rasa bersalah. Azzam sudah menolongnya sepanjang malam ini, sekarang malah diusir.
“Kenapa kalau dia datang? Kamu takut dia cemburu?” tanyaAzzam membuat Asa terdiam.
“Oke, aku tahu diri. Kalau gitu aku pergi ya.” Tangan pria muda itu tidak tahan untuk tidak mengusap lembut dan sayang puncak kepala Asa seiring merebaknya rasa kehilangan yang semakin mendera . Asa menunduk merasakan usapan Azzam dan menahan air mata saat langkah kaki pria muda teristimewa semakin menjauh. Separuh hatinnya turut serta bersama pria itu, meninggalkan kekosongan di jiwanya yang rapuh walau terlihat tangguh.
“Maaf, lama nunggu ya? Aku dipermainkan google map,jadinya muter-muter sampai tiga kali.” Abi mendekat tergesa ke arah Asa. Gadis itu tersenyum sedikit dan mengangguk.
“Aku juga baru kok, mana mobilmu?” Asa mencari-cari mobil Abi, tapi yang dilihat malah mobil Azzam dimana pemiliknya sedang mengawasinya dari dalam mobil.
“Ada agak di belakang,”
“Parkirkan sampai sini, kakiku lecet.”
“Mau ku gendong sampai mobil?” tawar Abi bercanda. Haish! Ada apa dengan para pria malam ini yang suka sekali menawarkan tumpangan di tangan kokoh mereka?
“Enggak! Makasih.” Abi tertawa melihat raut kesal Asa.
“Tunggu bentar ya, aku ke mobil dulu.” Asa mengangguk dan kembali melihat Azzam, tapi pria yang telah membawa hatinya itu telah pergi. Asa tersenyum miris. Memangnya apalagi yang dia harapkan? Hubungan mereka tidak punya masa depan.
Sarah memasuki studio Azzam dengan mood yang masih separoh hancur. Rencana indah yang dia susun dari berbulan-bulan yang lalu telah gagal, tepatnya digagalkan oleh si bos. Padahal Asa melakukan ini untuk kebahagiaan sang idolanya juga. Tapi, semuanya sudah tinggal rencana. Sarah akan menyusun lagi rencana berikutnya agar misi penebusan rasa bersalahnya sukses. Dongkol yang bercokol di hati sejak kemaren siang belum juga hilang, padahal Sarah sengaja pulang lebih awal dan tidak mampir ke studio selepas acara di mall.
“Pagi, Sarah, suram bener ini hari?” sapa Dixy yang muncul di ruang studio yang merangkap kantor.
“Biasa aja, Bang. Abang angkat sehat? Sudah sarapan belum?” Dixy tersenyum sambil merapikan rambut ombrenya.
“Abang selalu sehat, lihat nih badan makin subur.” Dixy memutar-mutar badannya. Sarah tertawa.
“Baik-baik, Bang, badan subur adek-kakak dengan obesitas.”
“Et dah! Kagak sudi gua, kalau gitu Abang jogging dulu ya, Neng. Bangunkan bos Azzam ya, dia pesan minta dibangunkan jam 11.”
“Enggak mau, Bang, suruh Bang Paijo aja.”
“Lah, kenapa? Kan tinggal digedor-gedor pintunya.”
“Tetap enggak, maaf.” Seru gadis 23 tahun itu mantap. Dixy mendekat ke Sarah.
“Adek masih marah sama Abang Azzam? Gara-gara kejadian di mall ya? Jangan lama-lama marahnya, nanti darah tinggi.” Sarah tersenyum kecut. Dia tidak marah, cuma mau protes saja atas sikap diktator Azzam yang sudah menggagalkan rencana indahnya. Wajar kan Sarah marah?
“Ingat Sarah, marah bisa jadi cinta lho, enggak takut jatuh cinta sama Azzam? Banyak yang bakal julidin kamu, menghujat kamu saat kalian aplot foto mesra.”
“Aih, amit-amit, Bang, jangan nakutin napa?!” Sarah bergidik. Dia memang mengidolakan Azzam, mencintainya juga, tapi itu sepaket dengan Asa. Bukan artian mencintai ingin memiliki sendiri.
“Yaudah, kalau gitu nanti bangunin bos ya, Abang mau jogging ke pinggir empang.” Dixy meninggalkan studio. Sarah berdo’a  semoga nanti Azzam bisa bangun sendiri. Saru banget harus naik ke lantai dua dan menggedor pintu kamar anak bujang orang.

Sarah memindahkan rekaman video acara di mall. Gadis itu tersenyum puas melihat hasil rekamannya. Tapi senyum itu berubah sedih melihat Azzam sangat berusaha mengimbangi akting bahagia dan mesra yang ditujukan Asa padanya. Dia tahu si boss sangat tersiksa karena yang dilakukan mantan kekasih hanya drama. Lagi-lagi Sarah menyesali kegagalan rencana “Ishlah” Azzam dan Asa yang akan dia mediasi.
“Hai, Sarah, sudah lama datang?” eh, bos ganteng sudah bangun sendiri, tidak perlu dibangunkan, pinteeer. Hati Sarah jadi legah.
“Mayan!” sahutnya jutek tanpa mengalihkan perhatian dari leptop.
“Masih marah, Neng?” Tuh, kan, laki-laki di sini peka semua. Sarah jadi baper.
“Marah!” lagi, Sarah menanggapi jutek aksi tanya-tanya bangun tidur Azzam. Lihat saja, rambut masih berantakan dan baju kaos kedodoran, tapi tetap wangi dan ganteng di mata Sarah. Azzam tertawa ngakak. Gadis-gadis di sekitarnya suka sekali merajuk. Enggak yang di sini, apalagi yang di sana. Mana cantiknya juga sama. 
“Mau diajarin ngedit video nggak?” Azzam berusaha membujuk. Dia tahu Sarah ingin jago ngedit seperti dirinya. Sarah terdiam ragu. Dia kan lagi marah, kalau menerima tawaran itu sama aja dong sudah memaafkan Azzam? Ih, kagak sudi!
“Enggak, makasih,” kata Sarah sambil merapikan peralatan elektronik di atas meja. Kadang bekerja seruangan dengan para cowok harus sabar. Mereka suka meletakkan barang sembarangan. Lihat saja! Power bank sampai bungkus rokok dan charger berserakan di atas meja. Tugas Sarah yang harus merapikan setiap pagi.
“Beneran? Katanya mau saingan sama aku jago ngedit?” Azzam mencoba merubah keputusan emosional Sarah. Sampai dimanakah keras kepala gadis satu ini? Apakah sama dengan yang di sana? Lah, Azzam kok membanding-bandingkan mereka dari tadi sih? Apakah hatinya sudah mendua? Aduh, Azzam mulai kapok berurusan dengan wanita, khususnya masalah hati.

Azzam dan Asa (Bangun Cinta atau Jatuh Karena Cinta?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang