Jangan Khawatir, Aku Masih yang Dulu

863 112 75
                                    

Waktu bisa merubah segalanya, tapi tidak cintaku padamu.

(Hanamican lagi ngebucin 😘)

Lama Asa menunggu jawaban Azzam atas pertanyaan yang dia lontarkan. Suara burung khas rawa menjadi simponi nyanyian sore di tengah kebisuan mereka. Dari arah tambak para pemuda bersiul-siul melihat bos mereka sedang duduk  santai dengan seorang gadis. Walau dari kejauhan mereka bisa melihat mobil kuning Asa dan menyimpulkan bahwa gadis yang duduk di samping Azzam adalah mantan kekasih bos.

“Gila si bos, punya mantan rasa kekasih,” celetuk Paijo yang berambut panjang dikuncir satu.

“Sama-sama masih cinta mau bijimane lagi, Jo. Toh mereka baik-baik saja, pihak lain yang hendak memisahkan.” Adam temannya Paijo yang juga berambut gondrong berkata sok bijak.

“Kalau gue di posisi Azzam, gue culik aja, terus gue kawinin, kalau sudah bunting keluarga bisa apa?” Paijo dengan mulut comberannya membuat teman-teman para pemuda di atas tambak lele emosi.

“Dasar otak WC, kotoran aja isinya! Bos Azzam gak bakal punya niat sedikit pun untuk gituan.”

“Iye, kagak usah emosi napa? Itu kan kalau gue, bukan Azzam. Gitu aja marah. Puasa gak kalian?” Paijo melenggang santai meninggalkan teman-temannya, namun sayang kakinya tersandung kabel pengikat tambak, pria gondrong itu jatuh  ke empang.

“Syukurin! Jatuh kan lo! Langsung dibalas sama Alloh.” Teman-temannya mentertawakan. Paijo menyumpah-nyumpah dari dalam empang.

“Zam-Zam, jawab dong! Kenapa kamu dandan liar kaya gini? Rambut gondrong, pakai anting, dan merokok?” Tanya Asa lagi. Azzam mencopot sesuatu yang menempel di telinganya.

“Ini bukan anting, Sa. Isolasi, lihat nih!” dia menempelkan benda lengket warna hitam itu ke pipi Asa. Azzam tertawa geli. Asa protes sembari melepas benda itu dan menempelkannya balik ke pipi Azzam.

“Hahaha, apaan dah, kaya si beser di serial youtuber idola kamu itu,” ejek Azzam. Asa merengut tapi ikut tertawa juga.

“Becir, bukan beser!” protesnya.

“Oh, salah ya, maaf deh.”

“Kukira ini anting beneran, rupanya isolasi ya.”

“Iya.” Azzam memindahkan tempelan ke telinganya.

“Biar apa coba pakai anting isolasi gitu, terus merokok, terus panjangin rambut,”  cerocos Asa sambil  menarik rambut Azzam yang menyentuh pundak.

“Auh, sakit, Yang!” adu Azzam manja. Kilasan momen serupa yang pernah tercipta dulu hadir begitu saja diantara mereka berdua.

“Jawab makanya!"

“Iya, lepas dulu nih rambut, ntar aku jatuh ke pangkuanmu batal puasaku.” Asa segera melepaskan tarikannya pada rambut Azzam. Bisa panjang urusan kalau Azzam beneran jatuh ke pangkuannya.

“Udah dilepas, sekarang jelaskan!” Asa memutar tubuh menghadap Azzam langsung. Pria ganteng dengan senyum semanis gulali itu masih duduk santai menjuntai kaki sambil kepala mendongak memandang langit menjelang sore. Beberapa burung terbang rendah, mengintai ikan-ikan lele yang mungkin saja sedang berenang ke permukaan mencari udara segar. Seperti Azzam yang butuh bernapas panjang untuk menjawab pertanyaan Asa.

“Aku mencari kenyamanan dan bahagia, Sa. Dulu nyamanku adalah kamu, bahagiaku adalah Asa,” desahnya prustasi. Asa tertunduk sedih mendengar jawaban Azzam.

“Jangan merusak diri, Zam. Kamu tahu rokok itu tidak sehat-“

“Makanya dibakar,” sambar Azzam. Bibir Asa mengerut tak suka mendengar Azzam bicara seperti itu. 

“Iya, bakarnya jangan di mulut, di pembakaran sampah sekalian,” omelnya. Azzam tertawa tertahan.

“Ngomeeel mulu. Nggak berubah.” Azzam menarik ujung jilbab Asa di bagian belakang, membuat kepala Asa sontak mendongak.

“Azzam ih, jail!” tangannya yang kecil memukul lengan Azzam yang keras berotot.

“Aduh, tanganmu keras bat sih, sakit,” adu Asa mengusap tangannya sendiri yang justeru terasa sakit setelah memukul lengan Azzam.

“Kualat,” olok Azzam.

“Ih, dulu nggak sekeras ini.”

“Aku work out, biar sehat, kuat, dan berotot kawat. Jadi nanti aku bisa menjaga wanitaku dengan lebih baik.”

“Beruntung sekali wanita itu,” ujar Asa sedih.

“Udahlah, kagak usah sedih, kalau kamu jodohku, pasti dia adalah kamu,” hibur Azzam. Dia tidak mau terlarut dalam kesedihan seperti yang dia rasakan di awal-awal perpisahan dulu.

“Tapi jangan merokok ya,” mohon Asa lagi.

“Sesekali aja, kalau gabutnya level 10. Nanti kalau aku lampiaskan ke yang lain malah kacau.”

“Yang lain? Seperti apa?” Asa menatap Azzam yang tertunduk memutar-mutar posisi jam tangan yang dibelikan Asa dulu sebagai hadiah.

“Cewek misalnya. Banyak banget yang mendekat minta disikat.” Asa ternganga mendengar perkataan Azzam. Gadis itu memutar posisinya lagi, kali ini seperti posisi semula, menyamping dan berayun kaki. Pandangannya kosong menatap ke tengah rawa yang ditumbuhi semak seperti bakau. Dia cemburu, tapi tidak punya hak untuk itu. Jadi, Asa menyimpannya sebagai kesedihan pribadi.

“Hei, jangan cemburu! Aku masih seperti yang dulu. Setia pada satu wanita,” ujar Azzam memecah kesedihan Asa.

“Siapa wanita itu?” kejarnya.
“Siapapun itu, aku hanya akan setia pada satu wanita, yang lain hiburan saja. Haha. Becanda.” Azzam menghindari cubitan Asa yang hendak mampir di pinggangnya.

“Azzam ih! Nggak boleh jadi f*ck boy! Kamu lelaki baik.”

“Kalau aku baik, kenapa tidak boleh bersamamu?” Azzam memprotes keadaan.

“Jodoh kita belum tertulis di lembar yang sama, Zam. Nggak tahu ke depannya. Kan pernah kamu bilang, banyak berdoa saja. Kalau memang yang terbaik Allah mudahkan, kalau enggak  pasti ada saja halangannya.

“Baiklah, aku juga sedang berjuang agar bisa cepat move on darimu.” Asa tersenyum pahit mendengar kata-kata Azzam. Andai dia tidak punya orang tua dan keluarga untuk dipertimbangkan pendapatnya, maka Asa tidak akan ragu untuk hidup bersama lelaki di sampingnya ini.

“Jangan sekedar move on, Zam, kamu harus move up. Kamu harus lebih baik dari sebelumnya, agar orang-orang yang meremehkan kamu terbuka matanya.” Azzam mengangguk mendengar kata-kata Asa.

“Siap Nyonya, aku pun tidak sebodoh itu merusak diri sendiri. Aku tekankan sekali lagi, ini hanya tampilan luarku saja. Selebihnya aku masih yang dulu. Aku masih rajin mengulang hafalan, masih rajin ngaji dan tahajjud, dan masih rajin berdo’a.”

“Yaudah, aku pulang ya,” pamit Asa beranjak dari saung . Azzam mengikuti.

“Pulang kemana? Rumahmu kan di sini,” bisik Azzam. Asa menggeleng dan terus berjalan menuju mobilnya. Sekali dia menoleh maka hatinya akan goyah. Azzam menarik pelan bahu Asa dari belakang hingga gadis itu terhenti langkahnya.

“Aku antar, bahaya, sampai di kota udah malam, banyak tindak kejahatan zaman susah seperti sekarang.”

“Nanti kamunya yang kemaleman balik ke sini.” Asa tidak bisa berhenti mengkhawatirkan Azzam.

“Laki gak sama Neng, ayo buruan! Belum Ashar juga kan, sekalian kita sholat di masjid besar di luar sana.” Motor Azzam meluncur diikuti mobil Asa. Setelah di jalan besar Azzam mengambil posisi tepat di belakang mobil gadis itu, berjaga dari segala kemungkinan. Ketika bertemu masjid besar di pinggir jalan dua anak manusia itu mampir untuk sholat Ashar. Setelahnya mereka lanjut meluncur menuju kota. Tanpa mereka sadari, sebuah mobil lain juga mengikuti mereka dari belakang dalam jarak aman.

Komen2 lucu ditunggu, mau komen apa aja diterima. Yg penting mak mau baca komen kalian. Jangan jadi silent reader ya. Komenmu adalah dukungan moril. Hehe. Serius ini. Kalau mau lanjut partnya hayo komen. Tapi jangan next mulu komennya. Ini mak masih sakit pinggang, part setelah ini belum diketik.

Tebak tokoh:
1. Siapakah Paijo dan kawan2 dalam dunia nyata?
2. Siapakah yang mengikuti Azzam dan Asa?

Azzam dan Asa (Bangun Cinta atau Jatuh Karena Cinta?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang