Penghuni Hati

642 74 36
                                    

Kadang gelap malam jauh lebih membuatku tenang, dibanding gemerlap panggung yang penuh gemintang, dan...kepalsuan

Azzam memandang langit malam yang gelap. Tidak ada satu pun bintang yang menampakkan diri. Angin berhembus kencang, sepertinya akan turun hujan. Hisapan rokok yang tinggal separuh menghangatkan paru-parunya. Pikiran pria muda itu berkelana mengikuti bulatan asap yang berantakan diporak-porandakan angin. Beginilah cara Azzam menghabiskan sebagian besar malam. Jarum air menerpa wajah yang  gundah. Segera ditutupnya bilah jendela studio guna mencegah lebih banyak tempias masuk. Suara petir mulai terdengar mengerikan. Azzam menyimpan beberapa puisi yang berhasil dilahirkan malam ini dan segera mematikan laptop.  Sembari menunggu apel digigit itu benar-benar mati Azzam duduk bertopang dagu di meja kecil studio. Pandangannya lantas jatuh pada kursi di depannya. Kejadian tadi siang berputar kembali.

“Subhanallah, Masyaallah!” seru Azzam dalam hati.

“Anjai,” gumam Paijo pada diri sendiri.

“Buju buneng, cakep bet dah.” Dixy tak mau kalah.

“Pake lagi aja maskernya!” perintah Azzam.

“Eh, jangan! Bidadari dunia ini mah,” cegah Paijo pula.

“Apaan sih, Jo! Buka, eh, tutup aja lagi wajahnya, Neng, Alhamdulillah wajah Eneng sudah terekam dengan sempurna.” Dixy menggaruk rambut ombrenya menyalurkan salah tingkah. Sarah mengikuti Azzam dan Dixy untuk menutup kembali wajahnya dengan masker.

“Yuk saya tunjukkan jalan pintas menuju jalan besar, besok kamu juga bisa lewat jalan itu agar nggak perlu melewati Rawa luas yang sepi.” Sarah mengangguk, merapikan peralatan kamera dan ponsel yang tadi dikeluarkan untuk menunjukkan hasil rekaman videonya.

“Neng Sarah nama Bapaknya siapa?” tanya Paijo menunggu Sarah yang sedang bersiap-siap.

“Kenapa, Bang?” Paijo mesem-mesem memalukan, Dixy yag berdiri di sampingnya mencibir.

“Abang mau ngapalin nama Bapak Neng biar terbiasa dari sekarang, hehe,” tawa Paijo sok genit.

“Nama Bapak saya Almarhum Tatang Sukarna,” jawab Sarah sambil tersenyum.

“Innalillahi, Bapak Neng Sarah sudah meninggal toh? Maaf atas kelancangan saya.” Paijo merasa bersalah.

“Takapa, saya sudah mulai terbiasa tanpa beliau, sudah tiga tahunan perginya, saya tidak sedih lagi.” Dia memandang Paijo. Pria gondrong itu menghela napas lega karena Sarah tidak bersedih karena sudah mencandai Bapaknya.

“Betul Neng, sedih nggak boleh lama-lama. Beliau sudah tenang, kita yang hidup ini yang harus berjuang agar bisa mati dengan layak,” nasehat Dixy bijak. Mata Sarah berembun karena haru, dia seperti mendapat nasehat dari seorang Abang.

“Makasih, Bang. Kalau Abang nggak keberatan, Sarah mau anggap Abang sebagai Abang angkat Sarah, sebab Sarah nggak punya saudara lain lagi. Sarah cuma punya Nenek.” Senyum sedih terukir di bibirnya yang tersembunyi di balik masker.

“Ibumu kemana?” Azzam yang sudah bersiap dengan jaketnya hendak berkendara mengantar Sarah ikut penasaran, dari wawancara tadi Sarah hanya menyebut Neneknya.

“Meninggal waktu lahiran adik, adiknya ikut Ibu juga.”

“Oh, turut berduka ya,” ucap Azzam berempati. Sarah mengangguk, mengusap embun yang mengkristal dan jatuh ke pipi. Sungguh, rasa sedih seperti ini sudah lama tidak menjelma, tapi berhadapan dengan tiga pria ini membuat gadis bermata bening tersebut nyaman untuk menangis, seperti menemukan saudara yang tidak dimilikinya.

“Hmm, kami di sini bersedia jadi Abang angkat kamu, Sarah. Jangan sedih lagi,” kata Dixy yang berhati lembut walau badannya besar.

“Terimakasih semuanya, saya akan berusaha jadi tim yang bisa diandalkan dan adik angkat yang baik walau saya mungkin lebih duluan lahir, hehe.” Akhirnya Sarah bisa menemukan kembali keceriaannya. Paijo dan Dixy senang bukan main dapat adik angkat cantik.

Azzam dan Asa (Bangun Cinta atau Jatuh Karena Cinta?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang