Enam

121K 11.9K 334
                                    

"Mari Dok, saya antar ke atas."

Aku berdecak dan tidak bergeming dari posisiku berdiri. Nathan menelpon sang Tuan karena tidak bisa mengatasiku. Setelah hanya dibalas dengan anggukan dan beberapa kalimat 'iya' dan 'baik, Tuan', ia mengakhiri sambungannya.

"Maaf, saya juga tidak tau, Dokter. Tapi Pak Rey suruh Dokter Lani ke atas. Ke ruang rawat Rangga. Rangga lagi rewel."

"Rewel? Emang gak ada babysitter nya? Bibi yang tadi siang itu kemana?"

"Ada Dok."

"Kamu mau pake alasan Rangga rewel, biar saya ke atas?"

Nathan menggaruk tengkuknya. Meskipun saat berdiskusi dengan Rey tentang proyek ia terlihat sangat ahli dan pintar, tapi sepertinya kali ini ia tak sanggup menghadapi kekesalanku.

"Gak Dokter. Pak Rey mau ngomong sama Dokter Lani."

"Anter saya pulang! Ngomongnya besok aja."

Aku nekat ingin pulang. Percuma aku di sini kalau Rangga sudah ditangani. Aku tidak boleh kalah. Aku tidak boleh lemah dan gampang menuruti semua permintaan Rey.

Baru beberapa meter aku berjalan ke arah parkiran, dengan Nathan yang terpaksa mengikutiku di belakang, tiba-tiba lengan kekar seseorang dari belakang mencekal tanganku. Sontak aku mengibaskan tangan agar lepas dari pegangannya.

"Kamu lepas ... "

Aku berbalik. Mataku terbelalak tak percaya.

"Pak Rey!"

"Kamu mau kemana? Bisa gak sih udah sampe sini, lima menit aja ke atas?"

"Buat apa? Rawat bayi Bapak? Maaf, bukannya saya tegaan atau gimana. Tapi Pak please sadar!"

Aku berjalan mondar-mandir, sambil memijat pelipisku. Pusing memikirkan bagaimana cara memberikan pemahaman kepada pria satu ini. Sebenarnya sedang disimpan dimana otak pintarnya sekarang ini?

"Saya ini siapa, Bapak siapa? Kita baru kenal satu hari."

"Kamu hutang maaf sama saya. Dan kamu harus menebusnya!"

"Hhhh, bukannya tadi siang saya udah minta maaf? Tadi sore saya juga udah bantu Bapak rawat Rangga. Walaupun bentar. Bapak gak merasa hutang budi sama saya?"

"Merasa. Saya merasa hutang budi sama kamu."

"Yaudah. Impas kan kita?"

Ekspresinya tetap terlihat datar. Aku sulit membaca pikirannya, jika dia terus seperti itu.

"Aku akan bayar hutangku nanti, sekarang kamu bayar hutang maaf kamu dulu."

"Hh ... gimana?"

"Temui anak saya di atas. Dan kita bicarakan perjanjian hutang kita ini di sana. Kamu gak malu diliat orang, marah-marah begini?"

Rey berbalik dan berjalan duluan meninggalkan kami. Baru beberapa langkah di depan, dia kembali menatap kami.

"Ah ya ... satu lagi. Sekarang dokternya Rangga kamu. Dokter Lanisa Kenanga Hardiawan."

Aku mematung. Mulutku membulat dengan ekspresi tidak percaya. Bagaimana bisa seenaknya dia. Owh oke ... dia pasien VVIP yang bebas memilih dokter semaunya. 'Tapi gue harus gimana besok, ketemuan sama dokter Cyntia?'

---

Aku berjalan menyusuri lantai empat koridor VVIP ini. Di depanku ada Rey dan di belakangku ada Nathan.

Saat aku melewati nurse station, para perawat menyapa, dan aku membalasnya dengan senyuman. Setelahnya, aku bisa melihat dari sudut mataku, mereka sedikit berbisik di belakang. Aku cuek melanjutkan langkahku ke VVIP 1.

Dalam Genggaman (Doctor-Billionaire) TAMAT KBM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang