Part IV. Half A Man

139 11 1
                                    

Summary : Beda kenyataan, lain sandaran angan. Tak sudi diam, tak mau tinggal dalam ketiadaan. Demi mengikuti isyarat hati, ia meraih yang terkasih. Sejuta bayangan luruh sudah, ikrar suci tercoreng bercak pengkhianatan. Ingkar menjadi pilihan, harga diri terlupakan. Kini, Kouga ditinggalkan.

Rate : K

Notes: Ditulis thn 2015, edit sedikit di sana sini, but still ...

Bab ini sedikit berbeda karena menggunakan POV Kouga.

...

..

.

Sinar matahari menembus melalui celah jendela. Selapis cahaya hangat menyelimuti wajahku. Kukerjapkan mata, mengusir kantuk saat alarm di atas nakas berteriak dengan biadab, memaksaku untuk bergegas bangkit dari kenyamanan dan kembali memulai hari yang membosankan. Sayup-sayup, kudengar senandung merdu dari luar ruangan. Dengan malas, aku keluar dari selimut lalu duduk di tepi ranjang.

Semerta, ingatanku memainkan kenangan tentang seseorang yang kupuja. Senyum manisnya yang tertuju kepadaku begitu indah, mengalahkan keelokan bunga paling cantik yang tengah merekah. Suaranya begitu lembut ditelinga, seakan mampu menenangkan api kelam di jiwa.

Waktu berharga yang kami habiskan bersama takkan pernah terasa cukup. Sebab, ia selalu membuatku merasa menjadi laki-laki yang paling mujur di semesta raya. Perasaan dibutuhkan, dihargai, dihormati, perasaan yang semua laki-laki butuhkan dari kaum Hawa kudapat darinya. Perasaan itu mengganda kala semua itu dihadiahkan oleh wanita yang mandiri, kuat, selalu tahu apa yang ia inginkan dan selalu berusaha dengan segenap daya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.

Aku tak pernah menyangka bahwa aku sempat menjadi seseorang yang paling diinginkannya. Sungguh, aku tersanjung. Ingin sekali kurengkuh tubuhnya erat-erat, mengecup bibirnya di depan semua orang serta mengklaimnya sebagai milikku. Satu sudut mulutku tertarik ke atas saat memikirkan pertautan pertama yang sarat perasaan dan dibumbui oleh letupan hasrat yang telah lama tertahan.

Aku selalu ingin mengingat kala dia tertawa, saat ia ...

Tiba-tiba, getir menohok relung hati. Kilasan berbagai adegan terpampang di benak. Memori itu teramat kubenci. Wajahnya tertunduk, air mata deras mengalir manakala ia mengetahui kebenaran. Demi mempersembahkan sedikit kenyamanan, aku coba meremas tangannya. Namun, dia menghindar.

Aku muak melihatnya menangis dan yang paling aku benci adalah fakta bahwa akulah satu-satunya penyebab. Karena diriku, mendung itu bergelayut pada roman menawannya. Aku jualah yang memudarkan semburat merah muda di pipinya. Keceriaan itu binasa karenaku. Aku hanya berjaya menoreh sungai kesedihan yang takkan kering dalam semalam di hidup kami berdua.

Tanpa siapa pun ketahui, hampa dihatiku karena kehilangannya akan lebih lama bersarang di dada. Semua itu karena kebodohanku, kelemahanku, dan ketakberdayaanku untuk memilih luasnya misteri samudera biru atau kemegahan rimba yang belum terjamah. Aku tak memiliki kuasa untuk menentukan untuk bertahan atau pergi.

Aku, si pengecut Kouga Matsuno, lemah dalam memutuskan satu di antara dua, Ayame atau Kagome.

Akhirnya, aku berdiri, memaksa kaki, dan berjalan terseok. Sejurus kemudian, langkahku terhenti demi memandang foto sepasang pengantin yang tergantung di dinding. Keduanya memancarkan aura pasangan jiwa yang paling beruntung di seluruh dunia. Mereka terlihat bahagia, saling mencinta, laksana tak terpisahkan oleh apapun juga.

Pandanganku kini terpusat pada si pria yang pada waktu itu berusia dua puluh dua tahun, rambut hitam sebahu membingkai wajah tegasnya. Kulit cokelatnya menambah kesan maskulin dari keseluruhan penampilan.

Aku berpaling dari gambaran diriku satu dekade lalu. Berbanding terbalik dengan diriku di masa lampau. Aku yakin penat jelas tergurat di air mukaku sekarang. Tanpa sadar, rahangku mengeras. Jiwaku merasa tua dan jemu. Kupejamkan mata, menyaksikan lagi pertemuan sekaligus perpisahan dengan Kagome tadi malam.

Aku menghela napas. Semua itu harus usai. Ya, dan aku wajib memainkan lagi peranku.

"Sarapan sudah siap, Sayang! Setsuna dan Towa sudah di meja makan!" Bersamaan dengan suara halusnya, kepala cokelat istriku menyembul dari balik pintu kamar. Ia tersenyum lembut. Kuakui, kecantikannya sejak pertama kami bersua belasan tahun lalu belum jua memudar.

"Lima menit lagi!" jawabku pendek.

"Oke!" Perempuan beranak dua itu lantas menghilang di balik pintu.

Kutepis kisah asmara terlarang. Kan kubiarkan perempuan bersafir kelabu itu kembali merasuk sukma kala aku sendiri. Saat ini, aku adalah seorang kepala dari sebuah keluarga kecil yang bahagia. Cintaku kepada sang istri tidaklah meredup. Hanya saja, ada tempat lain di hatiku untuk dia.

.

.

Fin

End notes:

- Nangkep ga kalo Kagome di fic ini (sbg orang ketiga yang gatau status Kouga) yang pada akhirnya memutuskan untuk pergi demi kebaikan semua orang?

- Anggep aja ini fic protes kepada semua laki-laki menyedihkan yang merasa berhak menggunakan beribu alasan untuk berpaling dari pasangan.

- Kalo ada yg bertanya-tanya kenapa anak Kouga/Ayame di sini namanya Setsuna dan Towa, bukannya itu nama anaknya Sess-
Karena, for me personally, sequel IY agak-agak f***ed up. Walaupun, sejujurnya, aku berharap ada keajaiban yang membuatku jatuh cinta dgn sequel itu di masa mendatang. But, for now ... well, whatever, nevermind.

.

Minna saiko arigatou!

木漏れ日 (Komorebi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang