Pernyataan.

42 7 2
                                    

2 minggu setelah kelulusan bagi para santri As-Shidqiyyah, Abah meminta Arsyad untuk berdiskusi mengenai Aira yg ingin beliau kirim ke Istanbul. Namun sewaktu di ajak berdiskusi,  Arsyad terlihat tak begitu bersemangat mendengar semua penuturan dari Abah.

"Bang? Kok malah lesu gitu sih? Menurut Abang gimana?"

"Emmm maaf Bah, sebelumnya ...  Abang nggak pernah terbuka sma Abah dan Ummah."

Ummah menatap Abah dengan raut bingung. Berbicara lewat tatapan mata. Apa yang sebenarnya ada di fikiran Arsyad saat ini?

"Ada apa Abang?"

"Arsyad mengagumi salah satu akhwat asrama Ummah."

Raut bingung yang tadi sempat terlihat, sirna sudah. Berganti dengan senyuman tulus.

"Siapa dia Abang? "

Arsyad tak berani menatap langsung mata Abah. Menarik nafas perlahan, Arsyad menyebutkan sebuah nama. Nama yang seketika membuat Abah dan Ummah tersenyum saat mendengarnya.

*****

Pagi yang sangat cerah untuk mengawali hari yang indah. Udara pagi yang sejuk menyapa wajah Aira yang tengah menatap keluar dari jendela kamarnya. Qonza yang baru saja tiba di kamar langsung mengajak Aira untuk segera bersiap. Hari ini, Qonza mengajak Aira jalan-jalan di taman yang tak jauh dari ma'had. Tak sembarang keluar dari asrama, mereka juga harus meminta izin terlebih dahulu jika ingin meninggalkan asrama, meskipun kini mereka resmi memegang status asatidzah. Qonza sudah terlebih dahulu meminta izin pada Abah jika ia akan mengajak Aira pergi dari asrama.

"Ai lihat deh! Masya Allah.... Mereka lucu-lucu kan? "

"Iya Za, lucu banget. " Aira dan Qonza kini terfokus menatap sepasang batita kembar. Iya, mereka kini sudah berada di taman. Dan kini mereka tak henti-hentinya kagum melihat batita kembar sepasang yang tengah berjalan beriringan di ikuti orang tua mereka di belakangnya.

"Allahumma sholli alaa Muhammad.... Semoga kelak aku juga bisa punya anak kembar kayak mereka. "

"Aminn... Aku juga pengen deh punya anak kembar gitu. Pasti seru banget kesehariannya. " Qonza mengangguk menyetujui sambil terus tersenyum di balik cadarnya.

"Assalamualaikum. "

"Waalaikumussalam, eh Abang? Abang jalan-jalan juga nih? "

"Hehe iya, habis lagi nyantai juga kan? Di pesantren juga lagi nggak ada kegiatan to? Makanya Abang inisiatif jalan-jalan aja. " Qonza mengangguk-angguk.

"Oza, bisa tinggalin Abang sama Aira sebentar? " Aira terkejut meskipun samar di lihat. Jujur, ia sedikit gugup jika harus berhadapan dengan ustadz Arsyad.

"Hemmm ok deh. Ai, aku tunggu di sana ya? " Aira hanya menjawab dengan anggukan pelan. Sementara Qonza menatap sepupunya sambil berkedip jail. Tentu saja hal itu tidak diketahui oleh Aira, karna Aira sudah sibuk menunduk sejak ia menanggapi pertanyaan Qonza.

Sunyi beberapa menit setelah kepergian Qonza. Arsyad bingung harus memulai dari mana. Sementara Aira sendiri tak berani membuka percakapan.

"Afwan tadz, kalau nggak ada yang mau di bicarakan, sebaiknya ana nyusul Qonza. "

"Tunggu Aira! Ada yang mau ana bicarakan sama anti. Soal kita. "

"Soal kita? Maksud antum? "

"Maaf sebelum nya karna saya diam-diam mengagumi sosokmu selama ini. "

Terkejut? Tentu saja. Bagaimana mungkin ia tak terkejut mendengar ucapan Arsyad barusan? Arsyad, nama yang selalu datang menyusup dalam fikirannya selama beberapa waktu terakhir ini, ternyata menyimpan kekaguman padanya? Bagaimana mungkin?

"Tapi, kenapa tadz? "

"Karna saya memandangmu bukan dari segi manapun. Namun saya memandangmu karna Allah. Saya akan mengkhitbah anti Aira. Dan niat saya, saya akan menghalalkan anti sebelum  berangkat ke Istanbul. Saya akan mendampingimu bukan sebagai ustadz, bukan juga sebagai Guz. Tapi sebagai kekasih halalmu. Maukah anti menjadi akhwat halal saya? Yaa ukhty Humaira Malika Dalisha? "

Ya Allah, apa ini jawaban dari semua rasa resahku selama ini? Laki-laki yang selalu ada dalam fikiranku, kini ia datang dengan pernyataan yang tak bisa di anggap main-main. Allahu akbar..... Terima kasih ya Allah...

Perasaan Arsyad menjadi resah kala Aira tak kunjung menjawab pernyataan darinya. Aira malah terlihat menunduk, dan Arsyad melihat sekilas bulir bening yang jatuh dari kelopak matanya.

Kenapa kamu menangis? Apa kamu tak memiliki perasaan sepertiku Aira? Ku mohon, jawablah. Setidaknya kau tak membuatku resah seperti ini.

"Bismillah, kalau antum memang serius, insya Allah ana siap tadz. "

"Alhamdulillah.... " perasaan resah yang beberapa saat menghampiri hilang sudah. Berganti dengan rasa syukur. Arsyad tak henti-hentinya mengucap hamdalah dalam hati.  Bersyukur dengan segala nikmat Allah yang telah di berikan padanya.

"Syukkron yaa ukhty. " Aira menjawabnya dengan senyum. Tentu saja tak bisa di lihat oleh Arsyad. Namun Arsyad bisa mengetahui senyum itu dari sorot mata Aira. Walaupun hanya melihat dari sisi samping, namun Arsyad yakin bahwa Aira sedang tersenyum saat ini.

*****

"Ehem ehem.... Ada yang senyum-senyum sendiri nih. Ada kabar apa nih jadinya? " Sebenarnya Qonza sudah mengetahui sejak awal kalau Arsyad diam-diam menyimpan rasa untuk sahabatnya itu. Namun, ia belum tau dengan kelanjutannya.

"Ustadz Arsyad...."

"Iya, kenapa Abang? "

"Tadi.... "

"Tadi...? "

"Anu, itu, tadi.... "

"Aira...!! Please deh! "

"Hehehe iya maaf. Aku masih gugup ini. Masih kaget. "

"Jadi....? "

Aira menatap mata Qonza penuh arti. Seakan ia bisa menyampaikannya kepada Qonza melalui tatapan mata. Qonza balas menatap dalam mata Aira. Berusaha menemukan jawaban sendiri. Detik kesekian, mata Qonza membelalak senang. Ia menemukan sendiri jawabannya. Qonza langsung merengkuh tubuh sahabatnya itu sambil lirih mengucap hamdalah.

"Aku seneng Ai, akhirnya semua ini berakhir."

"Berakhir? maksud kamu? " Aira melepaskan rengkuhan Qonza.

"Keresahanmu selama ini terjawab sudah. Begitu juga sama keresahan Abang. Semuanya sudah berakhir. Allah sudah mempertemukan kamu dan Abang di keputusan terakhir kalian. Allah sudah tunjukkan jalan yang baik untuk kalian. Barakallah.... "

"Terima kasih Za. Kamu yang selama ini udah semangatin aku. Dari dulu sampai sekarang, kamulah sahabat terbaik yang sangat berarti buat aku Za. " Mereka kembali berpelukan haru dalam bahagia. Tak perduli dengan tatapan beberapa warga yang juga tengah jalan-jalan di taman itu. Dari kejauhan, sepasang mata menyaksikan aksi berpelukan itu sambil tersenyum.

"Alhamdulillah.... Terima kasih ya Allah, Engkau telah tunjukkan, Engkau bukakan jalan untukku dan untuknya. Ridhoilah keputusanku, dan juga keputusannya ya Allah, ridhoilah kami." Arsyad bermonolog sendiri dengan suara lirih. Ia sudah bertekad, secepatnya akan menkhitbah Aira. Ia ingin mendampingi gadis itu dalam situasi apapun. Mendampingi bukan lagi hanya sekedar sebagai ustadz atau Quz. Melainkan sebagai kekasih halal, imam bagi Aira.

__________

Next part nya di tunggu hari jum'at ya.... Kira-kira apa kelanjutan dari part ini?  Sebenarnya agak bingung juga ini gimana mau lanjutinnya hehehe. Gimana yok bagusnya🤔 Ikutin terus yuk.. 🙂
Jangan lupa follow buat yg belum follow. Vote bagi yg merasa baik sama Anna😁✌
See you next time wan kawannn🙂

QOBILTU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang