Ahmad Arsyad Firdaus.

98 9 4
                                    

Setelah menyelesaikan urusannya di Malang, pemuda itu memutuskan untuk segera pulang karna abah memerlukan dirinya. Dia juga merasa telah meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang ustadz begitu lama. Maka dari itu pagi-pagi sekali ia sudah pergi meninggalkan Malang.

Ia berhenti di depan sebuah gerbang yang berdiri kokoh. Di mana di dalamnya merupakan tempat masa pertumbuhannya. Di sana juga ada kegiatan-kagiatan para santri yang tengah menimba ilmu. Ia terseyum karna kini ia bisa kembali lagi ke rumah. Ahmad Arsyad Firdaus.

"Assalamualaikum, Guz. "

"Wa'alaikumussalam... "

"Afwan, Guz. Antum sudah di tunggu Abah. "

"Oh syukkron ya akh. "

"Biar ana bantu bawa barang antum Guz. "Dengan senyum Arsyad menyerahkan tas yang ia bawa kepada salah satu santri putra yang menegurnya itu. Ia pun berjalan melalui koridor asrama santri putri dan terus menuju sebuah rumah keluarga ndalem.

"Syukkron akh.. "

"Afwan, Guz. "Setelahnya santri putra itu berbalik hendak menuju asrama.

"Akhi! "Belum jauh langkah santri putra tadi, Arsyad kembali memanggilnya.

"Na'am, Guz? "

"Jangan lewat dari koridor tadi ya, antum putar arah lewat depan. "

"Hehehe na'am, Guz. Mari assalamualaikum. "Santri putra itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal atas peringatan dari Arsyad.

"Wa'alaikumussalam.... "

Benar kata santri tadi. Di dalam Abah dan Ummah telah menunggu kedatangannya. Melihat kedatangan Arsyad, Ummah langsung menyambutnya dengan pelukan kasih seorang ibu kepada buah hatinya. Arsyad mencium punggung tangan Ummah dengan ta'zim, kmudian beralih mencium punggung tangan Abah.

"Gimana, urusannya sudah selesai kan? "

"Alhamdulillah sudah, Bah. Sekarang bisa fokus buat bantu Abah di pesantren. "

"Alhamdulillah... Abah senang kalau begitu. "

"Bang, sudah makan belum? Ummah tadi masak rendang kesukaan kamu lo. Ayo makan dulu bareng sama Abah. "

"Wihhh ada rendang nih. Lumayan buat isi perut Abang yang sudah lama nggak makan masakan Ummah yang enak hehe. "

"Ah kamu itu, selalu begitu. Sudah ayo, Bah, di temani makan nih anaknya. "

"Iya, Ummah. Ayo, Bang! "

Mereka pun menuju ruang makan. Sesekali di sela-sela makan Arsyad menanyakan keberadaan sang adik yang sejak tadi tak dilihatnya. Abah pun menceritakan perihal sepupu termanja Arsyad yang baru saja menjadi santri di pesantren.

Tak lupa Abah dan Ummah pun menceritakan perihal sahabat Qonza yang tak lain adalah Aira. Arsyad mencermati setiap kisah yang Abah cefitakan. Ia juga berusaha memahami bagaimana masalah yang gadis itu hadapi. Abah juga telah menyampaikan perihal Faiz dan Rani yang meminta untuk membantu membangkitkan semangat gadis itu. Rani tak tega jika harus melihat Aira bersedih lagi. Baginya usia Aira terlalu muda untuk menanggung semua beban ini. Namun, bukankan Allah tidak akan melimpahkan beban melebihi dari kemampuan hambaNya.

"Insya Allah, Bah. Tapi Arsyad nggak mungkin bisa membantu langsung. Harus ada asatidzah yang langsung terjun membantu Aira. Arsyad cuma bisa membantu dari jauh. "

"Soal itu, Abang bisa bicarakan dengan ustadzah Santi. Dia bisa kamu percaya soal kesabaran dan kesediaannya membantu Aira. "

"Baik, Bah. Nanti biar Abang bicarakan dengan ustadzah Santi. "

"Apa yang Abang butuhkan sekarang. Mungkin abang butuh info atau gimana? "

"Emmm Abang sebenarnya perlu data diri Aira, Abah. Untuk memudahkan Abang mencari tau semua seluk beluknya. "

"Biar nanti Abah carikan data nya di kantor. "

"Iya, Bah. "

"Ya sudah, lebih baik sekarang sok atuh Abang istirahat dulu. Biar nggak terlalu cape' nanti. "Ummah yang sedari tadi diam kini ikut angkat suara.

"Iya, Mah. Kalau gitu Abang ke kamar dulu Abah, Ummah. "

*****

Di dalam kamar, Arsyad tengah terlihat fakus dengan berkas-berkas yang tadi Abah berikan padanya. Ia meneliti berkas tentang keluarga Aira. Dengan sangat cermat ia meneliti segalanya. Matanya tertarik untuk mengetahui biodata santri barunya itu. Ia pun meraih berkas yang belum ia baca. Mulai dari alamat rumah, asal sekolah, hingga nama anggota keluarga mulai dari kakek, nenek, ayah, ibu dan satu nama yang membuat Arsyad terdiam.

Jadi, gadis itu anak tunggal. Ayahnya meninggal sejak ia masih duduk di bangku kelas 4 SD. Kenapa seolah aku tau lebih banyak dari apa yang aku baca? Rasanya aku tau semua tentang Aira. Dan nama itu.... Humaira Malika Dalisha.

Arsyad menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Setelah membaca satu nama, ia seolah mengetahui segala hal tentang Aira. Ia pejamkan mata untuk fokus berfikir. Apa ia mengenal gadis bernama Aira? Apa ia pernah dekat dengan gadis itu? Dimana? Kapan itu? Itulah pertanyaan yang berputar-putar dalam fikiran Arsyad saat ini. Ia berusaha mengembalikan memorinya pada masa lalu. Namun, sama sekali ia tak mengingat akan Aira.

Ah, mungkin ini cuma perasaanku aja. Aira santri baru di sini. Tau Aira juga dari cerita Abah dan Ummah. Aku nggak mungkin kenal sebelumnya sama gadis itu. Lagipula jika ada orang yang lebih tau soal Aira, itu Qonza. Qonza sahabat kecil Aira. Mereka sudah bersama-sama sejak kecil. Itu artinya, aku bisa cari tau hal lebih tentang Aira dari Qonza.

Mengingat Qonza, mau tak mau membuat Arsyad tersenyum. Tingkah Qonza yang selalu manja jika bersamanya, tangis Qonza yang lucu saat Arsyad menjailinya. Tak ia sangka, kini putri kecil termanjanya sudah tumbuh dewasa. Bukan lagi putri kecil yang cengeng ataupun manja. Melainkan putri kecil yang telah tumbuh menjadi gadis tangguh dan pintar. Dan kini gadis itu akan terjun dalam medan jihad yang belum pernah ia injak. Ia akan berperang dengan ribuan hadits dan ayat Qur'an. Ia akan mati-matian belajar agar bisa menjadi hafidzah sejati.

_________

Kembali lagi.... Maaf ya baru bisa up, soalnya sibuk nih. Elahhh sibuk apa sok sibuk sih😆 Ya intinya maaf buat yang mungkin nungguin kelanjutan part QOBILTU ini. Dan maaf buat typo nya ya.... Baru selesai langsung di up sih. Lagi malas koreksi hehehe... Selamat membaca wan kawan. Jangn lupa vote ya.. 😉😁

QOBILTU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang