Di ruang rias pengantin. Aku sedang duduk di kursi rias, menatap pantulan diriku di dalam cermin. Tidak lagi terlihat rambut panjangku, sudah tersanggul dengan anggun. Aku mengenakan gaun putih berbahan sutra terbaik yang dibaluti oleh berlian Swarovski, dengan atasan off-shoulder dan rok yang mengembang. Sangat indah, membuat siapa pun yang memakainya terlihat glamor. Maha karya Desainer Ilo. Tidak lupa mahkota dan wedding veil.
"Kamu terlihat sangat cantik, Ra." Seli berdiri di belakangku, tersenyum, juga terlihat cantik.
Aku balas tersenyum padanya, menatap sahabatku itu dari pantulan cermin. Rasanya ini semua seperti mimpi.
Telapak tanganku terasa dingin, tubuhku gemetar, jantungku berdegup kencang. Aku mencoba menenangkan diri dengan teknik sugestiku. Tanganku bercahaya, cahaya itu mengalir ke tubuhku, menimbulkan rasa nyaman.
Jujur aku merasa sangat gugup, dan canggung. Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Karena hari ini adalah hari pernikahanku dengan sahabatku sendiri.
Ya, dengan Ali!***
Setahun yang lalu. Raib, Seli, dan Ali telah menyelesaikan kuliah di akademi selama tiga tahun, di usia dua puluh. Mereka kuliah di Akademi Bayangan Tingkat Tinggi, Klan Bulan. Tadinya hanya Raib yang akan melanjutkan pendidikan di ABTT, Seli belum memutuskan untuk kuliah dimana, jangan tanya Ali, baginya lulus SMA saja sudah syukur. Tapi demi mendengar Ily akan melanjutkan pendidikan di akademi lama nya, ABTT, untuk mengambil program master, Seli tanpa banyak berpikir memutuskan untuk ikut kuliah bersama mereka. Maka Ali juga ikut bersama mereka. Miss Selena bilang, peran mereka bagi dunia paralel amat penting, mereka harus berlatih banyak teknik bertarung di akademi.
Satu bulan setelah wisuda dan pelepasan mahasiswa.
Di rumah Seli. Di kamarnya, Seli buru-buru mencari kontak seseorang di ponselnya. Ketemu. Dia langsung menelepon orang tersebut. Terdengar nada sambung cukup lama sebelum akhirnya diangkat.
"Halo, Ali, bisakah kita bertemu sekarang?" Katanya to the point.
"Ada apa, Sel? Aku sedang sibuk." Orang di sebrang telepon menjawab.
"Ada yang ingin aku bicarakan. Penting."
"Bilang saja di sini. Aku sibuk." Terdengar suara desingan mesin-mesin di sebrang telepon. Sepertinya Ali memang sibuk.
"Bagaimana kalau nanti sore?" Seli tetap tidak menyerah.
"Memangnya mau ngapain? Kalau kamu mau mengajakku menonton konser atau drakor aku tidak tertarik."
"Tentu saja bukan." Seli melotot, "Kan tadi sudah kubilang, ada yang ingin aku bicarakan." Ia berseru gemas.
Ali akhirnya menyetujuinya. Seli memberi tahu tempatnya.
Pukul empat sore di kafetaria kota dekat SMA mereka dulu. Seli sudah hampir menghabiskan kopinya, ketika sekali lagi ia mengedarkan pandangan sambil mencari sosok yang ia tunggu sejak tadi. Karena walaupun ia betah di sini, lama-lama ia jengah juga dengan tatapan beberapa laki-laki, bahkan ada yang menatapnya secara terang-terangan. Tempat ini dulunya adalah tempat biasa kumpul anak-anak sekolah mereka. Biasanya sepulang sekolah banyak yang pergi ke sini untuk mengerjakan tugas kelompok atau sekedar membeli fastfood sembari cuci mata.
Satu menit kemudian sosok yang ia tunggu menunjukkan batang hidungnya. Laki-laki dengan rambut yang entah bagaimana caranya selalu berantakan itu sedang memesan minuman, kemudian menghampiri meja Seli, duduk di depannya.
"Kenapa kamu tidak minta temani Raib saja kalau ke tempat seperti ini?" Ali menghembuskan napas, mulai mengaduk caramel macchiato nya.
"Karena aku akan bicara tentang Raib," Seli berkata lurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Series Fanfiction
Science Fiction[Cerita Berbahasa Indonesia] "It's not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages." - Nietzsche *Ily (Ilo's son) will also evolve in this story. Juni 2020 - started Januari 2021 - unpublish July 2022 - republish