Pukul sembilan malam. Di rumah Raib. Gerimis membungkus kota sejak tadi sore. Raib sudah masuk ke kamarnya, ditemani si Putih.
Ia menutup novel tebalnya yang baru selesai ia baca, berbaring di atas kasur, menatap langit-langit kamar. Raib tiba-tiba merindukan suasana di ABTT, asramanya, kantinnya, dosen-dosennya, teman-temannya, sahabat-sahabatnya.. Ah, iya, sahabat-sahabatnya. Ia teringat Seli dan Ali. Sejak sebulan kepulangan mereka dari Klan Bulan mereka jarang bertemu. Apa kabar Seli? Juga.. Ali? Lama tidak berjumpa dengan mereka terasa sekali rindunya.
Tentu saja, sejak kelas sepuluh mereka dekat, satu kelas, bertemu setiap hari, makan bakso bersama di kantin, menonton Ali turnamen basket, naik angkot bersama, sesekali mengunjungi rumah besar Tuan Muda Ali, rumah Raib, atau rumah Seli. Bahkan saat libur sekolah mereka menjalani missi bersama, mengunjungi tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi manusia seluruh dunia. Apa pun keadaannya, mereka selalu bertiga, menjalani masa-masa sulit bersama-sampai hampir kehilangan nyawa. Mereka saling mengisi, saling melindungi, walau lebih banyak bertengkar. Bahkan kuliah pun mereka tetap bersama-sama. Jadi, jarang betemu sebulan ini rasanya seperti seabad.
Masih sejauh apa petualangan mereka? Apakah hingga mereka punya keturunan, dan keturunan mereka yang melanjutkan petualangan? Raib tidak tahu itu.
Raib juga memikirkan orang tua kandungnya, Mata dan Tazk. Dimana Ayahnya saat ini?
Juga memikirkan orang tua angkatnya. Sejak kejadian robohnya tiang listrik di gardu trafo belakang sekolah, awal mula semua petualangan mereka, ia jadi jarang meluangkan banyak waktu untuk orang tuanya. Selalu sibuk dengan urusan dunia paralel. Raib tahu dibalik senyum mereka, ada rasa sedih saat ia izin hendak petualang.
Ia juga terkadang bisa mendengar sayup-sayup "pertengkaran" Mama dan Papa nya di bawah sana. Lalu mendengar Mama-nya menangis. Fakta bahwa Raib hanya anak angkat sangat menyakitkan bagi Mama-nya yang membesarkannya penuh kasih sayang sejak ia bayi.
Ia menarik bantal, menutup kuping, mencoba mengosongkan pikiran. Bahkan nyanyian air hujan tidak bisa me-nina bobokan-nya.
Dia tidak bisa tidur. Rasanya gelisah ingin menangis. Tapi Raib tidak menangis. Dia mencoba untuk tidur.
Saat Raib sudah ingin menutup matanya, ponselnya berdenting. Ada notifikasi pesan. Ia sebenarnya tidak berniat membalas pesannya, ingin langsung tidur. Tapi demi melihat nama kontak pengirim pesan, matanya langsung membulat.
Ali
Ra, kamu sudah tidur?
Krusor di layar ponsel Raib berkedip-kedip. Ia ingat terakhir kali Ali mengirim pesan adalah waktu mereka masih duduk di bangku SMA. Mau apa si Kusut itu mengirim pesan malam-malam? Tapi Raib senang mendapat pesan dari sahabatnya itu, sangat senang, terlebih disaat pikirannya kusut seperti ini. Ini bukan karena yang mengirim pesan itu Ali, kan? Raib malah melamun.
Ali
Di read doang nih, Ra?
Eh, iya, Ali. Aku belum tidur.
Kenapa?
Tidak apa-apa.
Bagaimana kabarmu?
Aku baik. Kamu?
Baik juga.
Lama kita tidak bertemu ya, Ra?
Iya, Ali. Aku rindu keusilanmu. Haha.
Dan juga Seli.
Aku juga rindu kamu, Ra. Hehe.
Raib bisa merasakan wajahnya yang menghangat. Raib buru-buru menggeleng, masa' hanya karena pesan singkat itu dia bisa tersipu.
Entah apa yang ada dipikirannya, Raib justru ingin curhat pada Ali, apa pun itu. Belakangan ini ia sedang banyak pikiran.
Me
Ali, apa kamu sudah mengantuk?
Atau sedang sibuk?
Belum.
Nggak sibuk.
Kenapa?
Aku ingin bercerita, boleh?
Iya.
Cerita sini.
Malam itu cerita Raib mengalir. Mulai dari kesehariannya selama sebulan ini, hingga masalah yang membebani pikirannya. Ali juga bercerita-kegiatan yang langka dari si biang kerok itu karena anak itu jarang bercerita. Kadang pembicaraan mereka malah ngelantur membicarakan yang lain, kadang lebih banyak Ali yang melawak-walau suka garing alias tidak lucu, kadang Ali meledek Raib, kadang juga flashback masa sekolah mereka.
Raib sambil tersenyum-senyum sendiri membalas pesan-pesan dari Ali. Tak terasa sudah pukul sebelas. Raib menyudahi obrolan setelah dua jam ia terlarut.
Selama dua jam mereka mengobrol, tentu saja Ali tidak membicarakan tentang pertemuannya dengan Seli, tentang lamaran. Ia tidak mau membahasnya. Raib pun belum tahu rencana lamaran tersebut.
Dan Raib mungkin tidak tahu, kalau kesenangan itu hanya bertahan malam ini. Itu chat pertama dan terakhir dari Ali di bulan ini.
Besoknya tidak ada lagi pesan dari Ali. Entah kenapa Raib malah menunggunya. Padahal Raib masih ingin bercerita banyak-walau dia juga bercerita pada Seli. Tetap menyenangkan berbicara dengan Ali.
Raib memutuskan ingin menghubungi lebih dulu, namun urung. Besoknya juga begitu, pun besok-besoknya.
Di hari ke sekian, Raib akhirnya mencoba menghubunginya. Pesannya tersampaikan, namun belum dibaca, lama sekali. Raib pikir Ali paling sedang sibuk dengan eksperiman anehnya. Tapi sampai besok-besoknya pun belum terbaca.
Raib saat itu tidak tahu apa yang terjadi, pun Seli masih tidak tahu apa yang terjadi pada Ali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Series Fanfiction
Science Fiction[Cerita Berbahasa Indonesia] "It's not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages." - Nietzsche *Ily (Ilo's son) will also evolve in this story. Juni 2020 - started Januari 2021 - unpublish July 2022 - republish