Ali melangsungkan proses lamaran. Dia hanya datang sendiri, tidak membawa apa-apa (kecuali ransel), terlihat tidak meyakinkan. Tapi anak itu tidak main-main, dia betul-betul menyiapkannya secara matang. Bahkan dia langsung mengajukan prospek pernikahan. Si genius itu memang pintar menjelaskan. Dia menjelaskan sampai persiapan resepsinya, hingga ke detail dananya (yang membuat semua orang tercengang). Kemudian dengan sangat sopan meminta restu kepada orang tua Raib.
Raib hanya terdiam, masih tidak percaya apa yang dia dengar. Dia tidak bisa menebak suasana hatinya saat itu. Mamanya justru menatap Ali takjub. Raib curiga, jangan-jangan sejak dulu Mamanya sudah mengincar Ali, memasukkannya ke dalam wishlist calon menantunya.
Kemudian Ali diwawancarai beberapa pertanyaan oleh Papa Raib. Dia terlihat menjawabnya dengan yakin, tersenyum dan mengangguk sempurna. Semua orang memperhatikan dengan seksama. Raib hampir tidak percaya melihatnya. Puh! Tidak seperti Ali biasanya yang suka urak-urakan dan membuat masalah.
Ali sudah selesai menyampaikan tujuannya. Sekarang hanya tinggal penentuan diterima atau tidaknya. Papa dan Mama Raib saling pandang, kemudian kembali menatap Ali, tersenyum.
"Dengan segala respek kami bukan bermaksud tidak ingin menjawab atau mengambil keputusan. Tapi ini semua menyangkut masa depan Raib, putri kami satu-satunya, putri kecil kami yang sekarang sudah dewasa. Maaf, Nak Ali.." Mama Raib menatap lembut Ali di depannya, "Maka dari itu yang berhak mengambil keputusan adalah Raib. Kamu tanyakan langsung padanya."
Ali sekarang menoleh menatap Raib. Kemudian dia menghampiri Raib, berlutut di depan sofa bulat yang melayang satu jengkal yang diduduki Raib.
Ali mendongak menatap Raib, "Ra.." Dia mengambil tangan Raib yang dipangkuan, menggenggamnya.
Dalam hati Raib berteriak senang, ingin langsung menjawab "Iya Ali, lamaranmu diterima, aku ingin menikah denganmu!" Tapi yang ada Raib bungkam, matanya berkaca-kaca, ia menunduk.
Ali kemudian melepas alat penerjemah yang terpasang di telinga dan lehernya.
"Aku mencintaimu." Ali berkata murni dengan bahasa Klan Bulan-tidak dengan alat penerjemah. Aksennya sudah halus, tidak lagi kasar seperti awal dia belajar.
"Bersediakah kamu menikah denganku, Putri Raib?" Lanjutnya masih dengan bahasa Klan Bulan yang fasih.
"Haruskah aku menjawab 'iya'?" Raib ikut menjawab dengan bahasa dunia ini sambil berusaha mati-matian menahan senyum.
Ali menggeleng, "Bukan 'harus', tapi kamu 'pasti' akan menjawab iya. Ya, kan?" Ali juga terlihat berusaha menahan senyum.
Wajah Raib bersemu merah. "Mmm tapi sebelum aku jawab kamu harus jawab dulu pertanyaanku."
"Apa..?" Ali tersenyum (walau terlihat seperti ditahan), sambil mengayun-ayunkan tangan Raib digenggamannya, seperti memanjakan anak kecil.
"K-kenapa dan sejak kapan kamu mencintaiku?" Raib bertanya agak gugup.
"Kamu betulan mau tahu?" Ali memiringkan kepala, sengaja betul menikmati menatap wajah merona Raib.
Raib mengangguk. Keduanya sudah tidak sanggup menahan senyum.
"Kamu harus menikah denganku dulu, baru aku kasih tahu." Ali mengembangkan senyum terbaiknya, mengedipkan sebelah mata.
"Ali ih.." Raib tertawa salah tingkah, mendorong muka Ali, membuat Ali tersungkur duduk, kepalanya hampir terjedut meja melayang.
Sadar atau tidak semua orang yang memperhatikan mereka berdua menahan tawa, menutup mulut, takut mengganggu moment mereka.
Ali mengaduh, "Kok malah didorong sih?" Dia memajukan bibirnya, pura-pura cemberut, "Langsung jawab saja cepat mau kawin atau tidak." Ali kembali menggenggam tangan lembut Raib.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Series Fanfiction
Science Fiction[Cerita Berbahasa Indonesia] "It's not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages." - Nietzsche *Ily (Ilo's son) will also evolve in this story. Juni 2020 - started Januari 2021 - unpublish July 2022 - republish