2. Malam Pertama

188 23 0
                                    

Aku dihukum rindu
Terpasung dalam janji lalu
Dan dia dihantam luka yang menderu
terpenjara dalam ingkar ku.

_______________&&&______________

Pagi itu Adiva dikejutkan dengan seorang siswa bertubuh besar dengan mata tajam seperti elang, alis tebal, dan bibir berwarna pink kontras dengan kulit terangnya, ia duduk di bangku Adiva dengan seringai yang tak terbaca. Dalam hati Adiva akui siswa itu cukup menarik, lesung di pipi kirinya saat tersenyum menjadi nilai plus tersendiri baginya.

"Kamu kenapa ada di sini?" Tanya Adiva dengan jari telunjuk mengarah kepadanya, perlahan Adiva mengeja dengan keras name tag yang tercetak di seragam putihnya, ALDEBARAN MALIK.

"Jangan bilang kamu tidak mengenal siswa populer sepertiku?" Jawabnya dengan sikap angkuh sambil berdiri lalu mendekati Adiva.

"Emang kamu siapa?" Tanya Adiva tak acuh dan semakin tak mengerti.

"Dia Aldebaran ketua Rubrik majalah sekolah kita Adiva, aku kan pernah cerita padamu!" Sela Safira dengan berbisik yang tanpa Adiva sadari tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.

"Panggil aku Al," ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Adiva. Adiva masih terdiam menatapnya tajam, mana mungkin ia sampai tak mengenal siswa satu sekolah dengannya.

"Adiva Dania Khanza," ucap Al dengan lancar sambil menarik kembali tangannya yang masih terulur karena tidak ada sambutan dari Adiva. Al seolah bermonolog karena Adiva tak kunjung meresponnya.

"Kamu sungguh kejam Adiva, bagaimana bisa kamu tidak pernah mengenalku, padahal aku sudah mengenalmu dengan baik sejak kita masih di kelas 10 bahkan kita satu grup saat MOS dulu," terangnya. Adiva masih bergeming namun ekor matanya tak lepas mengikuti gerak-gerik Al yang berdiri di hadapannya.

Tet...tet...tet... Suara bel sekolah tanda masuk berbunyi nyaring, seketika semua siswa dan siswi bersiap masuk ke dalam kelas masing-masing karena pelajaran akan segera dimulai.

"Aku akan sering ke sini, oya semoga kamu suka dengan puisi dan bunga dariku," ucapnya lalu mengedipkan sebelah mata dengan tangan kanan terangkat memberi hormat pada Adiva. Terdengar gelak tawa Aldebaran saat melenggang ke luar dari kelas Adiva.

Adiva masih berdiri mematung saat Safira menarik tangannya karena Bu Farah guru Fisika mereka sudah memasuki kelas. Adiva segera tersadar setelah terduduk di bangku lalu ia mencoba merogoh ke dalam laci bangkunya dan benar saja seperti biasa, sepucuk kertas berisi puisi beserta setangkai bunga mawar putih di sana.

"Dek ayo kita sholat isya berjamaah dulu," suara bariton seorang pria yang entah sejak kapan duduk di sebelah Adiva tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Suara bariton milik Azzam Aulian Putra yang kini resmi menjadi suaminya.

"Maaf saya lagi udzur Ustadz," jawab Adiva sambil menyeka buliran air mata yang membasahi pipinya dengan gugup. Azzam mengulas senyuman lalu membelai puncak kepala Adiva dengan lembut sebelum pergi. Tubuh Adiva seketika membeku dengan perlakuan lembut Azzam. Dengan perasaan rancu Adiva menatap punggung Azzam yang tengah berjalan ke arah kamar mandi hingga menghilang di balik pintu.

Segera Adiva membersihkan sisa make up di wajahnya lalu berganti dengan baju terusan bergambar Doraemon berwarna biru, tokoh kartun idolanya. Ia tatap wajah sendu di balik cermin dengan saksama, seketika senyuman khas Al dengan lesung di pipi kirinya hadir di sana, kembali air mata Adiva berjatuhan tanpa mampu ia bendung. Bahkan belum sempat ia mengucapkan sepatah kata perpisahan untuk kekasihnya itu. Ia remas dadanya yang terasa sesak sambil memejamkan mata, berulang kali ia mengucap istighfar dalam hati. Adiva tersadar saat logikanya memperingatkan ia bukanlah Adiva yang dulu, ia sudah menjadi istri sah seseorang bernama Azzam.

Tiga Hati Satu Cinta (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang